BAB I
KONSEP MEDIS
A.
DEFENISI
Epilepsi adalah penyakit serebral
kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak
yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak
dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan,
berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000)
Epilepsi adalah sindroma otak kronis
dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal
dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan
dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008)
Epilepsi
dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru
lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita,
yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat,
satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih
2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir.
Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh
dunia mengidap epilepsi.
B.
ETIOLOGI
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak
ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa
terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada
area jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar
belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada:
·
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
·
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
·
Keracunan CO, intoksikasi obat/alcohol
·
Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
·
Tumor Otak
·
Kelainan pembuluh darah
(Tarwoto, 2007)
2. Epilepsi
Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau
akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena
dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada
waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama
atau sebelum kelahiran),gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria(PKU),defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus
alkohol,uremia),ensefalitis, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
C.
PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui
sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin
dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni
GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas
listrik sarafi dalam sinaps.
Bangkitan epilepsi dicetuskan
oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari
fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke
neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran.
Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik
dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya
akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika
natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran
sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
-
Instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
-
Neuron-neuron hipersensitif
dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan
melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
-
Kelainan polarisasi (polarisasi
berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang
disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
(GABA).
-
Ketidakseimbangan ion yang
mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis
kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya
cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang
diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan.
Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara
kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
D.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut commission of
classification and terminologyof the internasional league against
epilepsy(ILAE) tahun 1981,klasifikasi epilepsy sebagai berikut:
I.
Sawan Parsial (lokal, fokal)
a)
Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap
normal
1.
Dengan gejala motorik
§ Fokal motorik tidak
menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
§ Fokal motorik
menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah
lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
§ Versif : sawan
disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
§ Postural : sawan
disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
§ Disertai gangguan
fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan
bunyi-bunyi tertentu
2.
Dengan gejala somatosensoris
atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima
panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
§ Somatosensoris:
timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
§ Visual : terlihat
cahaya
§ Auditoris : terdengar
sesuatu
§ Olfaktoris : terhidu
sesuatu
§ Gustatoris : terkecap
sesuatu
§ Disertai vertigo
3.
Dengan gejala atau tanda
gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera,
piloereksi, dilatasi pupil).
4.
Dengan gejala psikis (gangguan
fungsi luhur)
§ Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat.
§ Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat
suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
§ Kognitif : gangguan orientasi
waktu, merasa diri berubah.
§ Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
§ Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar.
§ Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara,
musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b)
Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1.
Serangan parsial sederhana
diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
§ Dengan gejala parsial
sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan
menurunnya kesadaran.
§ Dengan automatisme.
Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan
mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata
sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
2.
Dengan penurunan kesadaran
sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran
§ Hanya dengan
penurunan kesadaran
§ Dengan automatisme
c)
Sawan Parsial yang berkembang menjadi
bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik
§ Sawan parsial
sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
§ Sawan parsial
kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
§ Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan
parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum
II.
Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
A.
1. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini,
kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata
dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini
berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
§ Hanya penurunan
kesadaran
§ Dengan komponen
klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas,
sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
§ Dengan komponen
atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak
melemas sehingga tampak mengulai.
§ Dengan komponen
klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung
mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang.
§ Dengan automatisme
§ Dengan komponen
autonom.
1) Lena tak khas
(atipical absence)Dapat disertai:
§ Gangguan tonus yang
lebih jelas.
§ Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak
mendadak
B.
Sawan MiokloniK
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
C.
Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama
sekali pada anak.
D.
Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi
tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
E.
Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda
yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang
kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan
napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien
kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung
menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
F.
Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini
terutama sekali dijumpai pada anak.
III.
Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola
mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
E.
PROGNOSIS
Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami
kejang bergantung pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat
keluarga serta riwayat penyakit. Pasien epilepsi yang berobat teratur,
sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah
serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi,
dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami
remisi.
Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan
munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik klonik dan
sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah relaps sesudah
remisi.Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain
usia 16 tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi,
mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang
tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG menunjukkan
kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan kejang
menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang.
Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik
daripada dilaporkan sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami
gangguan intelektual. Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan kognitif
atau meninggal dunia sudah memiliki riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan,
abnormalitas neurologik, atau menderita penyakit serius yang berulang.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, darah tepi dan lainnya sesuai indikasi
misalnya kadar gula darah, elektrolit. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (bila
perlu) untuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan, perdarahan, jumlah sel,
hitung jenis sel, kadar protein, gula NaCl dan pemeriksaan lain atas indikasi
Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Ada
kelainan berupa epilepsiform discharge atau epileptiform activity), misalnya
spike sharp wave, spike and wave dan sebagainya. Rekaman EEG dapat menentukan
fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal, kortikal atau subkortikal
dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 % pasien
epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
Pemeriksaan radiologis :
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi
tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti
pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya.
Pneumoensefalografi dan
ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub
arachnoid serta gambaran otak.
Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma / hematome/ abses.
Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma / hematome/ abses.
G.
PENATALAKSANAAN
Cara
Menanggulangi epilepsy :
·
Hindarkan benturan kepala atau
bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat
/ benda berbahaya.
·
Longgarkan bajunya. Bila
mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan
pernapasan.
·
Biarkan kejang berlangsung.
Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi
patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak
disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
·
Penderita akan bingung atau
mengantuk setelah kejang terjadi. Beri penderita minum untuk mengembalikan
energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.
·
Laporkan adanya serangan pada
kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
·
Ajarkan penderita untuk
mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut
"aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan
bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi
yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya
berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung
beristirahat atau tidur.
·
Bila serangan berulang-ulang
dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah
sakit terdekat.
H.
PENGOBATAN
ü Phenobarbital (luminal): Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
ü Primidone (mysolin): Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan
phenyletylmalonamid.
ü Difenilhidantoin (DPH,
dilantin, phenytoin).
ü Dari kelompok senyawa
hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH.
Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.Tak berhasiat
terhadap petit mal.Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi
gingiva dan gangguan darah.
ü Carbamazine (tegretol): Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan
bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang
mempunyaiefek psikotropik.Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus
temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku.Efek samping yang mungkin
terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan
gangguanfungsi hati.
ü Diazepam: Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung
(status konvulsi.).Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena
penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
ü Nitrazepam (inogadon): Terutama dipakai untuk spasme infantil dan
bangkitan mioklonus.
ü Ethosuximide (zarontine):Merupakan obat pilihan pertama untuk
epilepsi petit mal
ü Na-valproat (dopakene):obat pilihan kedua pada petit mal.Pada epilepsi grand mal pun
dapat dipakai.obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.Efek samping
mual, muntah, anorexia
ü Acetazolamide (diamox):Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam engobatan
epilepsi.Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun,
influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.
ü ACTH: Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme
infantil.
BAB II
KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
§ Aktivitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum.
Keterbatasan dalam aktivitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat .
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot.
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
Gejala : Keletihan, kelemahan umum.
Keterbatasan dalam aktivitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat .
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot.
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
§ Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hypertensi, peningkatan nadi, sianosis.
Postiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
Gejala : Iktal : Hypertensi, peningkatan nadi, sianosis.
Postiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
§ Integritas Ego
Gejala : Stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan / atau penanganan.
Peka rangsang; perasaan tidak ada harapan / tidak berdaya. Perubahan dalam berhubungan.
Tanda : Pelebaran rentang respons emosional.
Gejala : Stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan / atau penanganan.
Peka rangsang; perasaan tidak ada harapan / tidak berdaya. Perubahan dalam berhubungan.
Tanda : Pelebaran rentang respons emosional.
§ Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Postiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik urine / fekal).
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Postiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik urine / fekal).
§ Makanan / Cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang.
Tanda : Kerusakan jaringan lunak / gigi (cedera selama kejang).
Hyperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka panjang).
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang.
Tanda : Kerusakan jaringan lunak / gigi (cedera selama kejang).
Hyperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka panjang).
§ Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi serebral.
Adanya aura (rangsangan visual, auditorius, area halusinogenik).
Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area parestese / paralisis.
Tanda : Karakteristik kejang :
Kejang umum.
Kejang parsial (kompleks).
Kejang parsial (sederhana).
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi serebral.
Adanya aura (rangsangan visual, auditorius, area halusinogenik).
Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area parestese / paralisis.
Tanda : Karakteristik kejang :
Kejang umum.
Kejang parsial (kompleks).
Kejang parsial (sederhana).
§ Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode postiktal.
Nyeri abnormal paroksismal selama fase iktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati-hati.
Perubahan tonus otot.
Tingkah laku gelisah / distraksi.
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode postiktal.
Nyeri abnormal paroksismal selama fase iktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati-hati.
Perubahan tonus otot.
Tingkah laku gelisah / distraksi.
§ Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat; peningkatan sekresi mukus.
Fase postiktal : apnea.
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat; peningkatan sekresi mukus.
Fase postiktal : apnea.
§ Keamanan
Gejala : Riwayat terjatuh / trauma, fraktur.
Adanya alergi.
Tanda : Trauma pada jaringan lunak / ekimosis.
Penurunan kekuatan / tonus otot secara menyeluruh.
Gejala : Riwayat terjatuh / trauma, fraktur.
Adanya alergi.
Tanda : Trauma pada jaringan lunak / ekimosis.
Penurunan kekuatan / tonus otot secara menyeluruh.
§ Interaksi Sosial
Gejala : Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau lingkungan sosialnya.
Pembatasan / penghindaran terhadap kontak sosial.
Gejala : Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau lingkungan sosialnya.
Pembatasan / penghindaran terhadap kontak sosial.
§ Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Adanya riwayat epilepsi pada keluarga. Penggunaan / ketergantungan obat (termasuk alkohol).
Gejala : Adanya riwayat epilepsi pada keluarga. Penggunaan / ketergantungan obat (termasuk alkohol).
B.
Diagnosa keperawatan
1.
Resiko terhadap cedera yang
berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2.
Pola napas tidak efektif
berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial
3.
Gangguan harga diri /
identitas diri berhubungan dengan persepsi tidak terkontrol
4.
Kurang pengetahuan mengenai
kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi.
5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar