Powered By Blogger

Senin, 06 Februari 2012

makalah etika keperawatan

 BAB I
PEDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pelayanan keperawatan yang bermutu adalah pelayanan yang dapat memuaskan  setiap  pemakai  jasa,  serta  penyelenggaraannya  sesuai  dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Upaya untuk memberikan keperawatan  bermutu  ini dapat dimulai  perawat  dari adanya  rasa tanggung jawab perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai salah satu tenaga profesional, keperawatan menjalankan dan melaksanakan kegiatan praktek keperawatan dengan mengunakan ilmu pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dimana ciri sebagai profesi adalah mempunyai body of knowledge yang dapat diuji kebenarannya serta ilmunya dapat diimplementasikan kepada masyarakat langsung.
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah bentuk implementasi praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien baik kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan tujuan upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan memelihara kesehatan serta menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain upaya praktek keperawatan berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi.
Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung berhubungan dan berinteraksi kepada penerima jasa pelayanan, dan pada saat interaksi inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik disengaja maupun tidak disengaja, kondisi demikian inilah sering menimbulkan konflik baik pada diri pelaku dan penerima praktek keperawatan. Oleh karena itu profesi keperawatan harus mempunyai standar profesi dan aturan lainnya yang didasari  oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya, guna memberi perlindungan kepada masyarakat. Dengan adanya standar praktek profesi keperawatan inilah dapat dilihat apakah seorang perawat melakukan malpraktek, kelalaian ataupun bentuk pelanggaran praktek keperawatan lainnya baik itu pelanggaran yang terkait dengan etika ataupun pelanggaran terkait dengan masalah hukum.
B.    RUMUSAN MASALAH
Masalah-masalah apakah yang terkait dengan pelayanan keperawatan ?
C.    TUJUAN
Untuk mengetahui Masalah-masalah apakah yang terkait dengan pelayanan keperawatan.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    MASALAH HUKUM DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
Berbagai masalah hukum dalam praktik keperawatan telah diidentifikasi oleh para ahli. Beberapa masalah yang dibahas secara singkat disini meliputi :
     Menandatangani Pernyataan Hukum
Perawat seringkali diminta menandatangi atau diminta untuk sebagai saksi. Dalam hal ini perawat hendaknya tidak membuat pernyataan yang dapat diinterprestasikan menghilangkan pengaruh. Dalam kaitan dengan kesaksian perawat disarankan mengacu pada kebijakan rumah sakit atau kebijakan dari atasan.
     Format Persetujuan (Consent)
Berbagai format persetujuan disediakan oleh institusi pelayanan dalam bentuk yang cukup bervariasi. Beberapa rumah sakit memberikan format persetujuan pada awal pasien masuk rumah sakit yang mengandung pernyataan kesanggupan pasien untuk dirawat dan menjalani pengobatan. Bentuk persetujuan lain adalah format persetujuan operasi. Perawat dalam proses persetujuan ini biasanya berperan sebagai saksi. Sebelum informasi dari dokter ahli bedah atau perawat tentang tindakan yang akan dilakukan beserta resikonya.
     Report
Setiap kali perawat menemukan suatu kecelakaan baik yang mengenai pasien, pengunjung maupun petugas kesehatan, perawat harus segera membuat suatu laporan tertulis yang disebut incident report. Dalam situasi klinik, kecelakaan sering terjadi misalnya pasien jatuh dari kamar mandi, jarinya terpotong oleh alat sewaktu melakuakan pengobatan, kesalahan memberikan obat dan lain-lain. Dalam setiap kecelakaan, maka dokter harus segera diberi tahu.
Beberapa rumah sakit telah menyediakan format untuk keperluan ini. Bila format tidak ada maka kejadian dapat ditulis tanpa menggunakan format buku. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencatatan incident report antara lain :
-    tulis kejadian sesuai apa adanya
-     tulis tindakan yang anda lakukan
-     tulis nama dan tanda tangan anda dengan jelas
-    sebutkan waktu kejadian ditemukan

     Pencatatan
Pencatatan merupakan kegiatan sehari-hari yang tidak lepas dari asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat. Pencatatan merupakan salah satu komponen yang penting yang memberikan sumber kesaksian hukum. Betapapun mahirnya keterampilan anda dalam memberikan perawatan, jika tidak dicatat atau dicatat tetapi tida lengkap, tidak dapat membantu dalam persidangan. Setiap selesai melakukan suatu tindakan maka perawat harus segera mencatat secara jelas tindkan yang dilakukan dan respon pasien terhadap tindakan serta mencantumkan waktu tindakan diberikan dan tanda tangan yang memberikan tindakan.
     Pengawasan Penggunaan Obat
Pemerintah Indonesia telah mengatur pengedaran dan penggunaan obat. Obat ada yang dapat dibeli secara bebas dan ada pula yang dibeli harus dengan resep dokter. Obat-obat tersebut misalnya narkotik disimpan disimpan ditempat yang aman dan terkunci dan hanya oprang-orang yang berwenang yang dapat mengeluarkannya. Untuk secara hukum hanya dapat diterima dalam pengeluaran dan penggunaan obat golongan nartkotik ini, perawat harus selalu memperhatikan prosedur dan pncatatan yang benar.
     Abortus Dan Kehamilan Diluar Secara Alami
Abortus merupakan pengeluaran awal fetus pada periode gestasi sehingga fetus tidak mempunya kekuatan untuk bertahan hidup. Abortus merupakan tindakan pemusnahan yang melanggar hukum, atau menyebabkan lahir prematur fetus manusia sebelum masa lahir secara alami.
Abortus telah menjadi masalah internasional dan berbagai pendapat telah diajukan baik yang menyetujui maupun yang menentang. Factor-faktor yang mendorong abortus antara lain karena :
-    Pemerkosaan
-    Pria tidak bertanggung jawab
-    Demi kesehatan mental
-    Kesehatan tubuh
-    Tidak mampu merawat bayi
-    Usia remaja
-    Masih sekolah
-    Ekonomi
(KR, 1994)
Yang dimaksud dengan kelahiran yang diluar secara alami meliputi kelahiran yang diperoleh dengan tidak melalui hubungan intim suami istri sebagai mana mestinya. Misalnya melalui fertilisasi invirto (bayi tabung).
Di Indonesia setiap tahun terdapat 2,6 juta kasus aborsi. Sebanyak 700.000 pelaku aborsi itu adalah remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun. Penyebab utamanya adalah kurangnya perlindungan terhadap perempuan. ”Survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2006 menyebutkan, aborsi mengakibatkan 68.000 kematian. Aborsi menyebabkan jutaan perempuan terluka dan menderita cacat permanen,” (Atwirlany). Menurut Deputi III Perlindungan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Endang Susilowati Poerjoto mengatakan, sebagian besar pelaku melakukan aborsi lantaran kehamilan tidak diinginkan. Hal itu menunjukkan salah satu faktor utama aborsi adalah kurangnya perlindungan terhadap perempuan.
Kerap kali perempuan, terutama remaja putri, mendapat perlakuan tak senonoh dari teman lelaki. Tak jarang mereka mengalami kekerasan seksual dari saudara, tetangga, atau bahkan ayah kandung. Menurut Susilowati, minimnya perlindungan perempuan mengakibatkan remaja putri kecanduan narkoba. Pada 2007, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat angka kematian penyalahgunaan narkoba 15.000 orang per tahun. ”Kementerian telah memfasilitasi 135 kabupaten dan kota di Indonesia mendirikan badan perlindungan perempuan guna mencegah agar kasus itu tidak bertambah dan merambah ke desa-desa,” katanya. Setiap pemerintah daerah, lanjutnya, perlu membuat kebijakan berbasis kesetaraan jender. Mereka harus menerapkan zero tolerance policy untuk tindak kekerasan terhadap perempuan.
“Dari penelitian who, diperkirakan 20-60 persen aborsi di indonesia adalah aborsi disengaja (induced abortion). penelitian di 10 kota besar dan enam kabupaten di indonesia memperkirakan sekitar 2 juta kasus aborsi, 50 persennya terjadi di perkotaan. kasus aborsi di perkotaan dilakukan secara diam-diam oleh tenaga kesehatan (70%), sedangkan di pedesaan dilakukan oleh dukun (84%). klien aborsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-29 tahun.
Aborsi di indonesia dilarang lewat undang-undang (UU) ri nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan juga untuk kalangan muslim lewat fatwa majelis ulama indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2005. (tetapi fatwa membolehkan aborsi dalam keadaan darurat di mana nyawa ibu terancam).
    Kontroversi Aborsi
Aborsi di Indonesia masih merupakan perbuatan yang secara jelas dilarang, terkecuali jika ada indikasi medis tertentu yang mengakibatkan terancamnya hidup dari sang Ibu. Di dunia Internasional sendiri dikenal dua kelompok besar yaitu pro life (yang menentang aborsi) dan pro choice (yang tidak menentang aborsi) berikut dengan berbagai argumentasi yang melatarbelakanginya.Di Indonesia sendiri, meski aborsi dilarang, namun tetap banyak perempuan-perempuan yang melakukan aborsi. Baik dilakukan berdasarkan indikasi medis tertentu maupun indikasi non medis.
Dalam aborsi, kami cenderung melihatnya dari sisi non moral, karena problem moral haruslah diletakkan dalam koridor moral semata dan tentu bukan dalam koridor moral yang dimasukkan unsur-unsur hukum. Beberapa contoh bagaimana terkadang moral dan hukum, dalam pandangannya, tidak mampu untuk menjawab persoalan persoalan ini.
Contoh A: Seorang perempuan yang diperkosa ternyata mendapatkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Perempuan ini merupakan korban perkosaan dalam terminologi adanya kekuatan yang melakukan pembersihan etnis dimana dia adalah salah satu etnis yang hendak disapu bersih.
Contoh B: Seorang perempuan yang diperkosa ternyata mendapatkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Perempuan ini merupakan korban perkosaan dalam konteks kejahatan dalam keluarga.
Contoh C: Seorang perempuan yang diperkosa ternyata mendapatkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Perempuan ini merupakan korban perkosaan dalam konteks kejahatan di lingkungan kerja. Dia sendiri sudah bersuami dan memiliki anak-anak yang baik dan lucu-lucu
Contoh D: Seorang perempuan yang diperkosa ternyata mendapatkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Perempuan ini merupakan korban perkosaan dalam konteks kejahatan biasa. Dia diperkosa karena ada perampok yang memasuki rumahnya.
Contoh E: Seorang perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan, ternyata telah hamil sebelum perkawinannya berlangsung. Sementara calon suaminya sendiri kabur entah kemana dan tak dapat dilacak kembali
Jika perempuan-perempuan ini diharuskan memelihara kehamilannya, kami yakin dia akan menanggung beban psikologis yang berat dan melahirkan anak yang tidak diinginkan akan merupakan beban dan pukulan kedua yang berat bagi mereka. Dan bisa jadi anak yang dilahirkannya malah tidak diurus dengan baik, baik oleh dirinya maupun keluarganya. Kalau sudah begini terjadi lingkaran kekerasan yang tak ada habisnya
Dari titik ini, terkadang saya berpikir, haruskah aborsi merupakan jalan keluar? dan kalau dia hendak melakukan aborsi, dan bila aborsi tersebut illegal, justru malah akan mengancam kehidupannya sendiri, karena dia akan pergi ke klinik-klinik kelas tiga atau malah ke dukun, seperti beberapa kasus yang terjadi belakangan ini.
     Kematian Dan masalah Yang Terkait
Masalah hukum yang berkaitan denagn kematian antara lain meliputi pernyataan kematian, bedah mayat/otopsi dan donor organ. Kematian dinyatakan oleh dokter dan ditulis secara sah dalam surat pernyataan kematian. Surat pernyataan ini biasanya dibuat beberapa rangkap dan keluarga mendapat satu lembar untuk digunakan sebagai dasar pemberitahuan kepada kerabat serta keperluan ansuransi. Pada keadaan tertentu misalnya untuk keperluan keperluan peradilan, dapat dilakukan bedah mayat pada orang yang telah meninggal

B.    MASALAH  ETIK DALAM  PRAKTEK KEPERAWATAN
Adapun permasalahan etik yang yang sering muncul banyak sekali, seperti berkata tidak jujur (bohong), abortus, menghentikan pengobatan, penghentian pemberian makanan dan cairan, euthanasia, transplantasi organ serta beberpa permasalahan etik yang langsung berkaitan dengan praktek keperawatan, seperti: evaluasi diri dan kelompok, tanggung jawab terhadap peralatan dan barang, memberikan rekomendasi pasien pad dokter, menghadapi asuhan keperawatan yang buruk, masalah peran merawat dan mengobati (Prihardjo, 1995).Disini akan dibahas sekilas beberapa hal yang berikaitan dengan masalah etik yang berkaitan lansung pada praktik keperawatan.
    Konflik etik antara teman sejawat

Keperawatan pada dasarnya ditujukan untuk membantu pencapaian kesejahteraan pasien. Untuk dapat menilai pemenuhan kesejahteraan pasien, maka perawat harus mampu mengenal/tanggap bila ada asuhan keperawatan yang buruk dan tidak bijak, serta berupaya untuk mengubah keadaan tersebut. Kondisi inilah yang sering sering kali menimbulkan konflik antara perawat sebagai pelaku asuhan keperawatan dan juga terhadap teman sejawat. Dilain pihak perawat harus menjaga nama baik antara teman sejawat, tetapi bila ada teman sejawat yang melakukan pelanggaran atau dilema etik hal inilah yang perlu diselesaikan dengan bijaksana.
    Menghadapi penolakan pasien terhadap Tindakan keperawatan atau pengobatan

Masalah ini sering juga terjadi, apalagi pada saat ini banyak bentuk-bentuk pengobatan sebagai alternative tindakan. Dan berkembangnya tehnologi yang memungkinkan orang untuk mencari jalan sesuai dengan kondisinya. Penolakan pasien menerima pengobatan dapat saja terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti pengetahuan, tuntutan untuk dapat sembuh cepat, keuangan, social dan lain-lain. Penolakan atas pengobatan dan tindakan asuhan keperawatan merupakan hak pasien dan merupakan hak outonmy pasien, pasien berhak memilih, menolak segala bentuk tindakan yang mereka anggap tidak sesuai dengan dirinnya, yang perlu dilakukan oleh perawat adalah menfasilitasi kondisi ini sehingga tidak terjadi konflik sehingga menimbulkan masalah-masalah lain yang lebih tidak etis.
    Masalah antara peran merawat dan mengobati

Berbagai teori telah dijelaskan bahwa secara formal peran perawat adalah memberikan asuhan keperawatan, tetapi dengan adanya berbagai factor sering kali peran ini menjadai kabur dengan peran mengobati. Masalah antara peran sebagai perawat yang memberikan asuhan keperawatan dan sebagai tenaga kesehatan yang melakuka pengobatan banyak terjadi di Indonesia, terutama oleh perawat yang ada didaerah perifer (puskesmas) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dari hasil penelitian, Sciortio (1992) menyatakan bahwa pertentangan antara peran formal perawat dan pada kenyataan dilapangan sering timbul dan ini bukan saja masalah Nasional seperti di Indonesia, tetapi juga terjadi di Negara-negara lain.Walaupun tidak diketahui oleh pemerintah, pertentangan ini mempunyai implikasi besar. Antara pengetahuan perawat yang berhubungan dengan asuhan keperawatan yang kurang dan juga kurang aturan-aturan yang jelas sebagai bentuk perlindungan hukum para pelaku asuhan keperawatan hal inisemakin tidak jelas penyelesaiannya.
    Berkata Jujur atau Tidak jujur

Didalam memberikan asuhan keperawatan langsung sering kali perawat tidak merasa bahwa, saat itu perawat berkata tidak jujur. Padahal yang dilakukan perawat adalah benar (jujur) sesuai kaedah asuhan keperawatan.
Sebagai contoh: sering terjadi pada pasien yang terminal, saat perawat ditanya oleh pasien berkaitan dengan kondisinya, perawat sering menjawab “tidak apa-apa ibu/bapak, bapak/ibu akan baik,  suntikan ini tidak sakit”. Dengan bermaksud untuk menyenangkan pasien karena tidak mau pasiennya sedih karena kondisinya dan tidak mau pasien takut akan suntikan yang diberikan, tetapi didalam kondisi tersebut perawat telah mengalami dilema etik. Bila perawat berkata jujur akan membuat sedih dan menurunkan motivasi pasien dan bila berkata tidak jujur, perawat melanggar hak pasien.
    Tanggung jawab terhadap peralatan dan barang

Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah menguntil atau pilfering, yang berarti mencuri barang-barang sepele/kecil. Sebagai contoh: ada pasien yang sudah meninggal dan setalah pasien meninggal ada barang-barang berupa obat-obatan sisa yang belum dipakai pasien, perawat dengan seenaknya membereskan obat-obatan tersebut dan memasukan dalam inventarisasi ruangan tanpa seijin keluarga pasien. Hal ini sering terjadi karena perawat merasa obat-obatan tersebut tidak ada artinya bagi pasien, memang benar tidak artinya bagi pasien tetapi bagi keluarga kemungkinan hal itu lain. Yang penting pada kondisi ini adalah komunikasi dan informai yang jelas terhadap keluarga pasien dan ijin dari keluarga pasien itu merupakan hal yang sangat penting, Karena walaupun bagaimana keluarga harus tahu secara pasti untuk apa obat itu diambil.
Perawat harus dapat memberikan penjelasan pada keluarga dan orang lain bahwa menggambil barang yang seperti kejadian diatas tidak etis dan tidak dibenarkan karena setiap tenaga kesehatan mempunyai tanggung jawab terhadap peralatan dan barang ditempat kerja.

C.    MENCEGAH MASALAH  HUKUM  DAN  MASALAH ETIK YANG TERKAIT DENGAN PELAYANAN KEPERAWATAN

    Strategi Penyelesaian Masalah Hukum
Malpraktik masih menjadi topik dalam dunia kesehatan. Berbagai praktik kesehatan termasuk keperawatan ini sudah diarahkan untuk mencegah terjadinya malpraktik. Berbagai UU praktik kesehatan telah mulai diupayakan untuk memberikan arahan bagi praktik professional dan perlindungan bagi praktik kesehatan. Peradilan profesi semakin banyak dibicarakan bagi pemikir hukum kesehatan (misalnya PERHUKI dan pemerintah) yang nantinya dapat memberikan pengayoman hukum bagi tenaga kesehatan dan bagi masyarakat.
Masalah hukum memang merupakan hal yang kompleks karena menyangkut nasib manusia. Menanggapi hal ini kita jadi ingat slogan lama “mencegah lebih baik dari pada mengobati”. Kiranya mencegah masalah hukum lebih baik dari pada memberikan sanksi hukum. Untuk ini sebagai perawat harus mengetahui prinsip-prinsip dalam mencegah hukum.
Dibawah ini akan dibahas beberapa hal yang dapat dilakukan perawat yang merupakan nurse defender terhadap masalah hukum :
    Ketahui hukum atau UU yang mengatur praktik anda.
    Jangan melakuakn apapun yang anda tidak tahu bagaimana melakukannya (bila perlu, pelajarilah caranya).
    Pertahankan kompetisi praktik anda, penting mengikuti pendidikan keperawatan berkelanjutan.
    Sebagai penuntut untuk meningkatkan praktik, mendapatkan kritik, dan kesenjangan pengetahuan/keterampilan, lakukan pengkajian diri, evaluasi kelompok, audit dan evaluasi dari supervisor.
    Jangan ceroboh dalam melakukan praktik keperawatan.
    Tetap perhatian pada pasien dan keluarganya.
    Sering berkomunikasi dengan orang lain, jangan menutup diri.
    Catat secara akurat, objektif dan lengkap, jangan dihapus.
    Delegasikan secara aman dan absah, ketahui persiapan dan kemampuan orang-orang dibawah pengawasan anda.
    Bantu pengembangan kebijakan dan prosedur (dalam badan hukum).
    Ikuti asuransi malpraktik, jika saat ini tersedia.
(Jones, 1993)

    Strategi Penyelesaian Masalah Etik
Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat menyebabkan masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada pasien dan kenyamanan kerja. (Mac Phail, 1988)Salah satu cara menyelesaikan permasalahan etis adalah dengan melakukan rounde ( Bioetics Rounds ) yang melibatkan perawat dengan dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk menyelesaikan masalah etis tetapi untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang kemungkinan terdapat permasalahan etis.
    Pembuatan Keputusan dalam Dilema Etik
Menurut Thompson dan Thompson (1985). dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit untuk diputuskan, dimana tidak ada alternative yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternative yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Dan untuk membuat keputusan etis, seseorang harus bergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan dengan pemecahan masalah secara ilmiah.(sigman, 1986; lih. Kozier, erb, 1991).
Setiap perawat harus dapat mengintegrasikan dasar-dasar yang dimilikinya dalam membuat keputusan termasuk agama, kepercayaan atau falsafah moral tertentu yang menyatakan hubungan kebenaran atau kebaikan dengan keburukan. Beberapa orang membuat keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari keputusannya, ada pula yang membuat keputusan berdasarkan pengalamannya (Ellis, Hartley, 1980).
1.    Teori dasar pembuatan keputusan Etis
a.    Teleologi
Teleologi (berasal dari bahasa Yunani telos, berarti akhir). Istilah teleo¬logi dan utilitarianisme sering digunakan saling bergantian. Teleologi me¬rupakan suatu doktrin yang menjelaskan fenomena berdasarkan akibat yang dihasilkan atau konsekuensi yang dapat terjadi. Pendekatan ini sering disebut dengan ungkapan The end justifies the means atau makna dari suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi. Teori ini menekankan pada pencapaian hasil dengan kebaikan maksimal dan ketidakbaikan sekecil mungkin bagi manusia (Kelly, 1987). Teori teleologi atau utilitarianisme dapat dibedakan menjadi rule utili¬tarianisme dan act utilitarianisme. Rule utilitarianisme berprinsip bahwa manfaat atau nilai suatu tindakan tergantung pada sejauh mana tindakan tersebut memberikan kebaikan atau kebahagiaan pada manusia. Act utilita¬rianisme bersifat lebih terbatas; tidak melibatkan aturan umum tetapi berupaya menjelaskan pada suatu situasi tertentu, dengan pertimbangan terhadap tindakan apa yang dapat memberikan kebaikan sebanyak-banyaknya atau ketidakbaikan sekecil-kecilnya pada individu. Contoh penerapan teori ini misalny a bayi-bayi yang lahir cacat lebih baik diizinkan meninggal daripada nantinya menjadi beban di masyarakat.
b.    Deontologi (Formalisme)
Deontologi (berasal dari bahasa Yunani deon, berarti tugas) berprinsip pada aksi atau tindakan. Menurut Kant, benar atau salah bukan ditentukan  oleh hasil akhir atau konsekuensi dari suatu tindakan, melainkan oleh nilai moralnya. Dalam konteknya di sini perhatian difokuskan pada tindakan melakukan tanggung jawab moral yang dapat memberikan penentu apakah tindakan tersebut secara moral benar atau salah. Kant berpendapat prinsip-prinsip moral atau yang terkait dengan tugas harus bersifat universal, tidak kondisional, dan imperatif. Kant percaya bahwa tindakan manusia secara rasional tidak konsisten, kecuali bila aturan-aturan yang ditaati bersifat universal, tidak kondisional, dan imperatif. Dua aturan yang diformulasi oleh Kant meliputi: pertama, manusia harus selalu bertindak sehingga aturan yang merupakan dasar berperilaku dapat menjadi suatu hukum moral universal. Kedua, manusia harus tidak memperlakukan orang lain secara sederhana sebagai suatu makna, tetapi selalu sebagai hasil akhir terhadap dirinya sendiri. Contoh penerapan deontologi adalah seorang perawat yang yakin bahwa pasien harus diberitahu tentang apa yang sebenarnya terjadi walaupun kenyataan tersebut sangat menyakitkan. Contoh lain misalnya seorang perawat menolak membantu pelaksanaan abortus karena keyakinan agamanya yang melarang tindakan membunuh.
Dalam menggunakan pendekatan teori ini, perawat tidak menggunakan pertimbangan, misalnya seperti tindakan abortus dilakukan untuk menyela-matkan nyawa ibu, karena setiap tindakan yang mengakhiri hidup (dalam hal ini calon bayi) merupakan tindakan yang secara moral buruk. Secara lebih luas, teori deontologi dikembangkan menjadi lima prinsip penting; kemurahan hati, keadilan, otonomi, kejujuran, dan ketaatan.
2.    Kerangka dan strategi pembuatan keputusan etis.
Kemampuan membuat keputusan masalah etis merupakan salah satu persyaratan bagi perawat untuk menjalankan praktek keperawatan professional dan dalam membuat keputusan etis perlu memperhatikan beberapa nilai dan kepercayaan pribadi, kode etik keperawatan, konsep moral perawatan dan prinsip-prinsip etis (gambar 1)




Gambar 1: Unsur-unsur utama yang terlibat dalam pembuatan keputusan dan tindakan moral dalam praktik keperawatan (diadaptasi dari Fry, 1991, lih, Prihardjo, 1995)

Berbagai kerangka model pembuatan keputusan etis telah dirancang oleh banyak ahli etika, di mana semua kerangka tersebut berupaya menjawab pertanyaan dasar tentang etika, yang menurut Fry meliputi:
•     Hal apakah yang membuat tindakan benar adakah benar?
•     Jenis tindakan apakah yang benar?
•     Bagaimana aturan-aturan dapat diterapkan pada situasi tertentu?
•     Apakah yang harus dilakukan pada situasi tertentu?
Beberapa kerangka pembuatan keputusan etis keperawatan dikembang¬kan dengan mengacu pada kerangka pembuatan keputusan etika medis. Beberapa kerangka disusun berda¬sarkan posisi falsafah praktik keperawatan, sementara model-model lain dikembangkan berdasarkan proses pemecahan masalah seperti yang diajarkan di pendidikan keperawatan. Berikut ini merupakan contoh model yang dikembangkan oleh Thompson dan Thompson dan model oleh Jameton: Metode Jameton dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan etika keperawatan yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pasien. Ke¬rangka Jameton, seperti yang ditulis oleh Fry (1991), terdiri dari enam tahap:
a.    Identifikasi masalah. Ini berarti mengklasifikasi masalah dilihat dari nilai-nilai, konflik dan hati nurani. Perawat juga harus mengkaji ke-terlibatannya terhadap masalah etika yang timbul dan mengkaji para¬meter waktu untuk protes pembuatan keputusan. Tahap ini akan memberikan jawaban pada perawat terhadap pernyataan: Hal apakah yang membuat tindakan benar adalah benar? Nilai-nilai diklasifikasi dan peran perawat dalam situasi yang terjadi diidentifikasi.
b.    Perawat harus mengumpulkan data tambahan. Informasi yang dikumpul-kan dalam tahap ini meliputi: orang-orang yang dekat dengan pasien yang terlibat dalam membuat keputusan bagi pasien, harapan/keinginan dari pasien dan orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan. Perawat kemudian membuat laporan tertulis kisah dari konflik yang terjadi. Perawat harus mengindentifikasi semua pilihan atau alternatif secara terbuka kepada pembuat keputusan. Semua tindakan yang memung-kinkan harus terjadi termasuk hasil yang mungkin diperoleh beserta dampaknya. Tahap ini memberikan jawaban: Jenis tindakan apa yang benar?
c.    Perawat harus memikirkan masalah etis secara berkesinambungan. Ini berarti perawat mempertimbangkan nilai-nilai dasar manusia yang pen-ting bagi individu, nilai-nilai dasar manusia yang menjadi pusat dari masalah, dan prinsip-prinsip etis yang dapat dikaitkan dengan masalah. Tahap ini menjawab pertanyaan: Bagaimana aturan-aturan tertentu diterapkan pada situasi tertentu?
d.    Pembuat keputusan harus membuat keputusan. Ini berarti bahwa pem-buat keputusan memilih tindakan yang menurut keputusan mereka pa¬ling tepat. Tahap ini menjawab pertanyaan etika: Apa yang harus dilaku-kan pada situasi tertentu?
e.    Tahap akhir adalah melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil.
    Sedangkan Pembuatan keputusan/pemecahan dilema etik menurut, Kozier, erb (1989), adalah sebagai berikut:
1)    Mengembangkan data dasar; untuk melakukan ini perawat memerlukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin, dan informasi tersebut meliputi: Orang yang terlibat, Tindakan yang diusulkan, Maksud dari tindakan, dan konsekuensi dari tindakan yang diusulkan.
2)    Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
3)    Membuat tindakan alternative tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
4)    Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan yang tepat
5)    Mendefinisikan kewajiban perawat
6)    Membuat keputusan.
Disamping beberapa bentuk kerangka pembuatan keputusan dilema etik yang terdapat diatas, penting juga diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan etik. Diantaranya adalah factor agama dan adat istiadat, social, ilmu pengetahuan/tehnologi, legislasi/keputusan yuridis, dana/keuangan, pekerjaan/posisi pasien maupun perawat, kode etik keperawatan dan hak-hak pasien (Priharjo, 1995).
Beberapa kerangka pembuatan dan pengambilan keputusan dilema etik diatas dapat diambil suatu garis besar langkah-langkah kunci dalam pengambilan keputusan, yaitu:
a.    Klarifikasi dilema etik, baik pertanyaan fakta dan komponen nilai etik yang seharusnya
b.    Dapatkan informasi yang lengkap dan terinci, kumpulkan data tambahan dari berbagai sumber, bila perlu ada saksi ahli berhubungan dengan pertanyaan etik dan apakah ada pelanggaran hukum/legal
c.    Buatlah beberapa alternatif keputusan dan identifikasi beberapa alternative tersebut dan diskusikan dalam suatu tim (komite etik).
d.    Pilih dari beberapa alternative dan paling diterima oleh masing-masing pihak dan buat suatu keputusan atas alternative yang dipilih
e.    Laksanakan keputusan yang telah dipilih bila perlu kerjasama dalam tim dan tentukan siapa yang harus melaksanakan putusan.
f.    Observasi dan lakukan penilain atas tindakan/keputusan yang dibuat serta dampak yang timbul dari keputusan tersebut, bila perlu tinjau kembali beberapa alternative keputusan dan bila mungkin dapat dijalankan.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

1.    Masalah hukum memang merupakan hal yang kompleks karena menyangkut nasib manusia. Menanggapi hal ini kita jadi ingat slogan lama “mencegah lebih baik dari pada mengobati”. Kiranya mencegah masalah hukum lebih baik dari pada memberikan sanksi hukum. Untuk ini sebagai perawat harus mengetahui prinsip-prinsip dalam mencegah hukum.
2.    Berbagai permasalahan etik dapat terjadi dalam tatanan klinis yang melibatkan interaksi antara klien dan perawat. Permasalahan bisa menyangkut penentuan antara mempertahankan hidup dengan kebebasan dalam menentukan kematian, upaya menjaga keselamatan klien yang bertentangan dengan kebebasan menentukan nasibnya, dan penerapan terapi yang tidak ilmiah dalam mengatasi permasalah klien. Dalam membuat keputusan terhadap masalah  etik, perawat dituntut dapat mengambil keputusan yang menguntungkan pasien dan diri perawat dan tidak bertentang dengan nilai-nilai yang diyakini klien. Pengambilan keputusan yang tepat diharapkan tidak ada pihak yang dirugikan sehingga semua merasa nyaman dan mutu asuhan keperawatan dapat dipertahankan.

B.    SARAN
Perawat harus berusaha meningkatkan kemampuan profesional secara mandiri atau secara bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan masalah masalah yang terkait dengan pelayanan keperawatan

ASKEP STROKE PADA LANSIA

 TUGAS:KEPERAWATAN GERONTIK


ASKEP STROKE PADA LANSIA






Oleh:

KASRIANI                HUTRI SULFIANA L.
ELIZABETH YUNITA D.        ISMAWATI
HASMIRAN                KOKODI ALI L.
HERLIAN                AL RAFIUT SADIAH
HERLIN                    MUH. TAUFIK B.

        G4 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MANDALA WALUYA
KENDARI
2O12


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang  

Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. Dari 19 juta jiwa penduduk Indonesia 8,5% mengalami stroke yaitu lansia.
Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi secara tiba-tiba dan cepat, disebabkan karena gangguan perdarahan otak. Insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia dan 1,25 kali lebih besar pada pria dibanding wanita.
Kecenderungan pola penyakit neurologi terutama gangguan susunan saraf pusat tampaknya mengalami peningkatan penyakit akibat gangguan pembuluh darah otak, akibat kecelakaan serta karena proses degenerative system saraf tampaknya sedang merambah naik di Indonesia. Walaupun belum didapat data secara konkrit mengenai hal ini.
Faktor penyebab munculnya masalah ini adalah adanya perkembangan ekonomi dan perubahan gaya hidup terutama msayarakat perkotaan. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup terlihat semakin mudah sehingga meningkatkan hasratmereka untuk terus berjuang mencapai tujuan dengan penuh persaingan dalam perjuangan tersebut, benturan-benturan fisik maupun psikologis tidak pernah dipikirkan efek bagi kesehatan jangka panjang. Usia harapan hidup di Indonesia kian meningkat sehingga semakin banyak terdapat lansia. Dengan bertambahnya usia maka permasalahan kesehatan yang terjadi akan semakin kompleks. Salah satu penyakit yang sering dialami oleh lansia adalah stroke. Usia merupakan factor resiko yang paling penting bagi semua jenis stroke.





B.    RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian stroke ?
2. Apa jenis-jenis stroke ?
3. Bagaimana etiologi stroke ?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit stroke ?
5. Apa tanda dan gejala stroke ?
6. Bagaimana menjelasakan prinsip penanganan ?
7. Bagaimana komplikasi dari penyakit stroke ?
8. Bagimana prinsip asuhan keperawatan pada klien dengan kasus stroke baik hemoragik maupun non-hemoragik ?
C.    Tujuan khusus
1. Menjelaskan pengertian stroke.
2. Mampu menyebutkan klasifikasi stroke.
3. Mampu menyebutkan etiologi stroke.
4. Mampu menjelaskan patofisiologi penyakit stroke.
5. Mampu menyebutkan tanda dan gejala stroke.
6. Mampu menjelasakan prinsip penanganan.
7. Mampu menjelaskan komplikasi dari penyakit stroke.
8. Mampu menguraikan prinsip asuhan keperawatan pada klien dengan kasus stroke baik hemoragik maupun non-hemoragik












BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    LANSIA   
1. Definisi  
Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran. Menurut Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia.
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (2003) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya.
Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo (2004) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lanjut usia merupakan periode di mana seorang individu telah mencapai kemasakan dalam proses kehidupan, serta telah menunjukan kemunduran fungsi organ tubuh sejalan dengan waktu, tahapan ini dapat mulai dari usia 55 tahun sampai meninggal.

2. Ciri-Ciri Lansia
Menurut Hurlock (Hurlock, 2004) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia, yaitu :
a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.  
b. Lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti : lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain.  
c. Perubahan peran  
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.

3. Cara Menjaga Hidup Sehat Pada Lansia
Cara hidup sehat adalah cara-cara yang dilakukan untuk dapat menjaga, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan seseorang. Adapun cara-cara tersebut adalah:  
a. Makan makanan yang bergizi dan seimbang  
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa diet adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Dengan tambahnya usia seseorang, kecepatan metabolisme tubuh cenderung turun, oleh karena itu, kebutuhan gizi bagi para lanjut usia, perlu dipenuhi secara adekuat. Kebutuhan kalori pada lanjut usia berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya kalori dasar dari kegiatan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan, ginjal, dan sebagainya. Jadi kebutuhan kalori bagi lansia harus disesuaikan dengan kebutuhannya. Petunjuk menu bagi lansia adalah sebagai berikut (Depkes, 2002):

1)    Menu bagi lansia hendaknya mengandung zat gizi dari berbagai macam bahan makanan    yang terdiri dari zat tenaga, pembangun dan pengatur.
2)    Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi lansia 50% adalah hidrat arang yang bersumber dari hidrat arang komplex (sayur – sayuranan, kacang- kacangan, biji – bijian).
3)    Sebaiknya jumlah lemak dalam makanan dibatasi, terutama lemak hewani.
4)    Makanan sebaiknya mengandung serat dalam jumlah yang besar yang bersumber pada buah, sayur dan beraneka pati, yang dikonsumsi dengan jumlah bertahap.
5)    Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non fat, yoghurt, ikan.
6)    Makanan yang mengandung zat besi dalam jumlah besar, seperti kacang – kacangan, hati, bayam, atau sayuran hijau.
7)    Membatasi penggunaan garam, hindari makanan yang mengandung alkohol.
8)    Makanan sebaiknya yang mudah dikunyah.
9)    Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan – bahan yang segar dan mudah dicerna.
10)    Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goreng – gorengan.
11)    Makan disesuaikan dengan kebutuhan  
b. Minum air putih 1.5 – 2 liter  
Manusia perlu minum untuk mengganti cairan tubuh yang hilang setelah melakukan aktivitasnya, dan minimal kita minum air putih 1,5 – 2 liter per hari. Air sangat besar artinya bagi tubuh kita, karena air membantu menjalankan fungsi tubuh, mencegah timbulnya berbagai penyakit di saluran kemih seperti kencing batu, batu ginjal dan lain-lain. Air juga sebagai pelumas bagi fungsi tulang dan engselnya, jadi bila tubuh kekurangan cairan, maka fungsi, daya tahan dan kelenturan tulang juga berkurang, terutama tulang kaki, tangan dan lengan. Padahal tulang adalah penopang utama bagi tubuh untuk melakukan aktivitas. Manfaat lain dari minum air putih adalah mencegah sembelit. Untuk mengolah makanan di dalam tubuh usus sangat membutuhkan air. Tentu saja tanpa air yang cukup kerja usus tidak dapat maksimal, dan muncullah sembelit.  
Dan air mineral atau air putih lebih baik daripada kopi, teh kental, soft drink, minuman beralkohol, es maupun sirup. Bahkan minuman-minuman tersebut tidak baik untuk kesehatan dan harus dihindari terutama bagi para lansia yang mempunyai penyakit-penyakit tertentu seperti DM, darah tinggi, obesitas dan sebagainya.  

c. Olah raga teratur dan sesuai  
Usia bertambah, tingkat kesegaran jasmani akan turun. Penurunan kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat lansia kemampuan akan turun antara 30 – 50%. Oleh karena itu, bila usia lanjut ingin berolahraga harus memilih sesuai dengan umur kelompoknya, dengan kemungkinan adanya penyakit. Olah raga usia lanjut perlu diberikan dengan berbagai patokan, antara lain beban ringan atau sedang, waktu relatif lama, bersifat aerobik dan atau kalistenik, tidak kompetitif atau bertanding.  
Olahraga yang sesuai dengan batasan diatas yaitu, jalan kaki, dengan segala bentuk permainan yang ada unsur jalan kaki misalnya golf, lintas alam, mendaki bukit, senam dengan faktor kesulitan kecil dan olah raga yang bersifat rekreatif dapat diberikan. Dengan latihan otot manusia lanjut dapat menghambat laju perubahan degeneratif.  

d. Istirahat, tidur yang cukup  
Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah untuk tidur. Diyakini bahwa tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses penyembuhan penyakit, karna tidur bermanfaat untuk menyimpan energi, meningkatkan imunitas tubuh dan mempercepat proses penyembuhan penyakit juga pada saat tidur tubuh mereparasi bagian-bagian tubuh yang sudah aus. Umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat. Jadi istirahat dan tidur yang cukup sangat penting untuk kesehatan.  

e. Menjaga kebersihan  
Yang dimaksud dengan menjaga kebersihan disini bukan hanya kebersihan tubuh saja, melainkan juga kebersihan lingkungan, ruangan dan juga pakaian dimana orang tersebut tinggal. Yang termasuk kebersihan tubuh adalah: mandi minimal 2 kali sehari, mencuci tangan sebelum makan atau sesudah mengerjakan sesuatu dengan tangan, membersihkan atau keramas minimal 1 kali seminggu, sikat gigi setiap kali selesai makan, membersihkan kuku dan lubang-lubang ( telinga, hidung, pusar, anus, vagina, penis ), memakai alas kaki jika keluar rumah dan pakailah pakaian yang bersih.  
Kebersihan lingkungan, dihalaman rumah, jauh dari sampah dan genangan air.
Di dalam ruangan atau rumah, bersihkan dari debu dan kotoran setiap hari, tutupi makanan di meja makan. Pakain, sprei, gorden, karpet, seisi rumah, termasuk kamar mandi dan WC harus dibersihkan secara periodik.

f. Minum suplemen gizi yang diperlukan
Pada lansia akan terjadi berbagai macam kemunduran organ tubuh, sehingga metabolisme di dalam tubuh menurun. Hal tersebut menyebabkan pemenuhan kebutuhan sebagian zat gizi pada sebagian besar lansia tidak terpenuhi secara adekuat. Oleh karena itu jika diperlukan, lansia dianjurkan untuk mengkonsumsi suplemen gizi. Tapi perlu diingat dan diperhatikan pemberian suplemen gizi tersebut harus dikonsultasikan dan mendapat izin dari petugas kesehatan.  

g. Memeriksa kesehatan secara teratur  
Pemeriksaan kesehatan berkala dan konsultasi kesehatan merupakan kunci keberhasilan dari upaya pemeliharaan kesehatan lansia. Walaupun tidak sedang sakit lansia perlu memeriksakan kesehatannya secara berkala, karena dengan pemeriksaan berkala penyakit-penyakit dapat diketahui lebih dini sehingga pengobatanya lebih mudan dan cepat dan jika ada faktor yang beresiko menyebabkan penyakit dapat di cegah. Ikutilan petunjuk dan saran dokter ataupun petugas kesehatan, mudah-mudahan dapat mencapai umur yang panjang dan tetap sehat.  

h. Mental dan batin tenang dan seimbang
Untuk mencapai hidup sehat bukan hanya kesehatan fisik saja yang harus diperhatikan, tetapi juga mental dan bathin. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk menjaga agar mental dan bathin tenang dan seimbang adalah:
1)    Lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME dan menyerahkan diri kita sepenuhnya kepadaNya. Hal ini akan menyebabkan jiwa dan pikiran menjadi tenang.
2)    Hindari stres, hidup yang penuh tekanan akan merusak kesehatan, merusak tubuh dan wajahpun menjadi nampak semakin tua. Stres juga dapat menyebabkan atau memicu berbagai penyakit seperti stroke, asma, darah tinggi, penyakit jantung dan lain-lain.
3)    Tersenyum dan tertawa sangat baik, karena akan memperbaiki mental dan fisik secara alami. Penampilan kita juga akan tampak lebih menarik dan lebih disukai orang lain. Tertawa membantu memandang hidup dengan positif dan juga terbukti memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. Tertawa juga ampuh untuk mengendalikan emosi kita yang tinggi dan juga untuk melemaskan otak kita dari kelelahan. Tertawa dan senyum murah tidak perlu membayar tapi dapat menadikan hidup ceria, bahagia, dan sehat.
i.    Rekreasi
Untuk menghilangkan kelelahan setelah beraktivitas selama seminggu maka dilakukan rekreasi. Rekreasi tidak harus mahal, dapat disesuaikan denga kondisi dan kemampuan. Rekreasi dapat dilakukan di pantai dekat rumah, taman dekat rumah atau halaman rumah jika mempunyai halaman yang luas bersama keluarga dan anak cucu, duduk bersantai di alam terbuka. Rekreasi dapat menyegarkan otak, pikiran dan melemaskan otot yang telah lelah karena aktivitas sehari-hari.  


B.STROKE
A.    Pengertian
Stroke adalah deficit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989). Stroke secara umum merupakan defisit neurologis yang mempunyai serangan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari terganggunya pembuluh darah otak (Hudak dan Gallo, 1997)
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000). Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. (Djoenaidi Widjaja et. al, 1994)
Stroke atau cedera serebrovaskuler attack ( CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Brunner and Suddarth, 2001). Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak yang berlangsung 24 jam atau lebih atau menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000)
Stroke adalah defisit neurologi yang memiliki awitan mendadak dan berlansung 24 jam sebagai akibat dari cerebrovaskuler disease (CVD). (Carolyn, 1999).
B.    Insiden
Di AS, stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Penyakit ini dapat dicegah atau diminimalkan dengan upaya : tekanan darah tetap terkonrol, tingkatkan kesadaran akan diet yang diperlukan dan hindari merokok.Beberapa hal yang perlu diketahui bahwa di AS kebanyakan yang menderita penyakit ini adalah kulit hitam, sering ditemukan pada pria daripada wanita dan pada umumnya meningkat setelah usia 75 tahun.  


C.    Faktor Resiko
Ada beberapa factor risiko stroke yang sering teridentifikasi, yaitu ;
1. Hipertensi, dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral.
2. Aneurisma pembuluh darah cerebral. Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
3. Kelainan jantung / penyakit jantung. Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Disamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
4. Diabetes mellitus (DM). Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yaitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.
5. Usia lanjut. Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.
6. Polocitemia. Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.
7. Peningkatan kolesterol (lipid total). Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.
8. Obesitas. Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah otak.
9. Perokok. Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.

D.    klasifikasi stroke
Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi :  
a. Stroke Hemoragik  
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol.  
b. Stroke non hemoragik  
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.
Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu :  
1. TIA’S (Trans Ischemic Attack)  
Gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.  
2. Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict)      
Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.  
3. Stroke in Volution  
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.  
4. Stroke Komplit  
Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent.
E.    Etiologi  
1. Trombosis (penyakit trombo – oklusif)  
Merupakan penyebab stroke yang paling sering. Arteriosclerosis selebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis selebral, yang merupakan penyebab umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis selebral bervariasi. Sakit kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau kejang dan beberapa awitan umum lainnya. Secara umum trombosis selebral tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat pada beberapa jam atau hari.  
Trombosis terjadi biasanya ada kaitannya dengan kerusakan local dinding pembuluh darah akibat atrosklerosis. Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan intima arteria besar. Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut, sedangkan sel – sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga lumen pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat – tempat yang melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat – tempat khusus tersebut. Pembuluh – pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam urutan yang makin jarang adalah sebagai berikut : arteria karotis interna, vertebralis bagian atas dan basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah menjadi kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli, atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan tersumbat dengan sempurna.  
2. Embolisme  
Embolisme sereberi termasuk urutan kedua dari berbagai penyebab utama stroke. Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita trombosis. Kebanyakan emboli sereberi berasal dari suatu trombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sebenarnya adalah perwujudan dari penyakit jantung. Meskipun lebih jarang terjadi, embolus juga mungkin berasal dari plak ateromatosa sinus karotikus atau arteria karotis interna. Setiap bagian otak dapat mengalami embolisme, tetapi embolus biasanya embolus akan menyumbat bagian – bagian yang sempit. tempat yang paling sering terserang embolus sereberi adalah arteria sereberi media, terutama bagian atas.
3. Perdarahan serebri
Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama kasus GPDO (Gangguan Pembuluh Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh dari semua kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan /atau subaraknoid, sehingga jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteria di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisper otak dan sirkulus wilisi. Bekuan darah yang semula lunak menyerupai selai merah akhirnya akan larut dan mengecil. Dipandang dari sudut histologis otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat membengkak dan mengalami nekrosis. Karena kerja enzim–enzim akan terjadi proses pencairan, sehingga terbentuk suatu rongga. Sesudah beberapa bulan semua jaringan nekrotik akan terganti oleh astrosit dan kapiler–kapiler baru sehingga terbentuk jalinan di sekitar rongga tadi. Akhirnya rongga terisi oleh serabut–serabut astroglia yang mengalami proliferasi. Perdarahan subaraknoid sering dikaitkan dengan pecahnya suatu aneurisme. Kebanyakan aneurisme mengenai sirkulus wilisi. Hipertensi atau gangguan perdarahan mempermudah kemungkinan ruptur. Sering terdapat lebih dari satu aneurisme.
F.    Patofisiologi
1. Stroke non hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
2. Stroke hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
G.    Manifestasi Klinik
Walaupun manifestasi klinik sering tidak dapat diidenrifikasi secara jelas terutama pada tahap awal, tetapi tanda-tanda yang dapat muncul bila pembuluh darah mengalami stenosis pembuluh darah utama adalah adanya paralisis yang berat pada beberapa jam atau hari, termasuk hemiplegia, kehilangan/gangguan bicara, paresthesia pada bagian tubuh tertentu. Kondisi yang terjadi di atas yang bersifat sementara disebut Transient Ischemic Attacks (TIA), atau manifestasi klinik yang terjadi secara gradual disebut  Stroke in Evolution.
Faktor-faktor yang dapat diidentifikasi yang merupakan petunjuk terjadinya perdarahan serebral :
1.    Nyeri kepala bagian osipital (bagian belakang kepala).
2.    Vertigo (pusing) atau sinkop.
3.    Gangguan motorik dan sensorik (kesemutan, paresthesia, paralisis).
4.    Epistaxis.
5.    Perdarahan retina.
Hal yang lain yang dapat diidentifikasi yang terkait dengan stroke yaitu : Nyeri kepala, muntah, kejang, coma, kaku leher, demam, hipertensi, EKG abnormal (ST segment memanjang), sclerosis perifer dan pembuluh darah retina, konfusio, disorinetasi, hambatan memori, dan perubahan status mental lainnya.
Manifestasi klinik bergantung pada lokasi terjadinya perdarahan, gangguan persarafan, kelemahan atau paralisis, kehilangan refleks sensorik, gangguan bicara, dan perobahan refleks.
Hemiplegia : akibat kerusakan pada area motorik pada bagian konteks atau pada traktus piramidal. Perdarahan atau bekuan darah pada otak kanan akan meyebabkan tubuh pada sisi kiri akan mengalami hemiplegia. Hal ini disebabkan oleh karena serabut saraf bersilang pada traktus piramidal dari otak menuju ke sumsum tulang belakang, demikian juga pada area kortikal yang lain yang dapat menyebabkan menianesthesia, apraxia, agnosia, aphasia.
Otot-otot thoraks dan abdomen biasanya tidak mengalami paralisis sebab dihubungkan kedua hemisper otak. Apabila otot voluntary mengalami gangguan maka tidak terjadi keseimbangan antara otot rangka fleksi dan ekstensi sehingga menyebabkan terjadinya deformitas yang serius.
Aphasia ; kerusakan dalam mempergunakan atau menginterpretasikan simbol-simbol dasn bahasa. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan pada korteks serebral. Gangguan pada semua aspek berbahasa seperti bercakap, membaca, menulis dan memahami bahasa yangdiucapkan.
Dikenal dua macam aphasia , yaitu aphasia sensorik yang berhubungan dengan pemahaman bahasa, dan aphasia motorik yang berhubungan dengan produk bercakap-cakap.
Aphasia sensorik termasuk kehilangan kemampuan pemahaman menulis, menciptakan atau mengucapkan kata-kata, misalnya klien tidak dapat memahami apa yang dibicarakan. Mendengar bunyi, tetapi tidak mengetahui komunikasi simbolik yang berhubungan dengan suara.
Aphasia motorik, dimana klien dapat memahami kata-kata, tetapi tidak dapat menguraikan dengan kata-kata.Aphasia disebabkan oleh adanya lesi patologis yang berhubungan dengan lokasi tertentu pada korteks. Penyebab utamanya adalah gangguan suplai darah ke otak terutama yang berhubungan dengan pembuluh darah Middle cerebral artery.
Apraxia : Kondisi dimana klien dapat bergerak pada bagian tubuh yang mengalami gangguan tetapi tidak berfungsi dengan baik, misalnya berjalan, berbicara, berpakaian, dimana bagian yang mengalami paralisis tidak dapat dikoordinasikan.
Visual Change : Adanya lesi pada lobus parietal dan temporal sebagai akibat perdarahan intraserebral karena terjadinya ruptur dari arterisclerosis atau hipertsnsi pembuluh darah. Lesi pada bagian otak akan meyebabkan kerusakan bagian yang berlawanan pada penglihatan. Penurunan kemampuan penglihatan sering berhubungan dengan hemiplegia.
Agnosia : Gangguan menginterpretasikan objek, misalnya penglihatan, taktil, atau informasi sensorik lainnya. Klien tidak dapat mengenal objek. Agnosia bisa visual, pendengaran, atau taktil tetapi tidak sama dengan kebutaan, tuli atau kehilangan rasa. Kehilangan sensasi misalnya tidak sadar pada posisi lengan, tidak merasakan adanya bagian tubu tertentu. Klien dengan agnosia penglihatan, dia melihat objek tetapi tidak mengenal atau atau tidak dapat memberi arti pada objek.
Dysarthria : Artikulasi yang tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan berbicara. Klien mengenal bahasa tetapi kesulitan mengucapkan kata-kata. Tidak ada gangguan dalam tata bahasa atau ungkapan atau konstruksi kata. Klien dapat berkomunikasi secara verbal walaupun mengalami angguan, membaca atau menulis. Kondisi ini disebabkan akibat disfungsi saraf kranial menyebabkan kelemahan atau paralisis otot sekitar bibir, lidah dan larynx.

Kinesthesia : gangguan sensasi yang terjadi pada satu sisi tubuh, berupa :
1.    Hemianesthesia : Kehilangan sensasi.
2.    Paresthesia.
3.    Kehilangan sensasi pada oto sendi.
Inkontinen : Inkontinen urin dan defekasi dapat terjadi, sebagai akibat :
1.    kurangnya perhatian.
2.    kehilangan memori
3.    faktor emosi.
4.    tidak mampu berkomunikasi.
Nyeri pada bahu : Terjadi sebagai akibat hambatan mobilitas serta overstreching otot bahu, serta gerakan yang tidak tepat serta kehilangan ROM (range of motion).
Horner’s Syndrome : paralisis saraf simpatis pada bagian mata mengebabkan tenggelamnya bola mata sebagai akibat ptosis kelopak mata atas dan peningkatan kelopak mata bawah, konstriksi pupil, dan berkurangnya air mata.
Gangguan emosional ; setelah menderita stroke mengakibatkan emosi klien labil, kebingungan, gangguan memori dan frustrasi : social withdrawal terutama aphasia, gangguan perilaku seksual, regresi, dan marah.
Secara umum manifestasi klinik dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Gangguan fungsi neuromotorik :
Penurunan fungsi motorik sangat sering dijumpai pada pasien stroke. Masalah yang berhubungan dengan fungsi neruromotorik yaitu mobilitas, fungsi pernafasan, fungsi menelan dan bicara, refleks muntah dan kemampuan rawat diri.
Terjadinya hal tersebut sebagai akibat adanya kerusakan saraf motorik pada  jalur pramidal ( serabut saraf dari otak dan melalui sumsum tulang belakang menuju ke sel motorik). Karakteristik penurunan motorik termasuk kehilangan kemampuan gerakan voluntary (akinesia), hambatan integrasi gerakan, gangguan tonus otot, dan gangguan refleks.
Oleh karena jalur paramidal bersilang pada tingkat medulla, sehingga bioa lesi terjadi pada salah satu sisi pada otak akan mempengaruhi fungsi motorik pada sisi berlawanan (contralateral). Lengan dan tungkai akan mengalami kelemahan. Apabila gangguan pada  middle cerebral artery, maka kelemahan pada ekstremitas atas lebih  keras daripada ekstremitas bawah.

2.    Gangguan komunikasi :
Hemisfer kiri lebih dominan untuk keterampilan berbahasa. Gangguan berbahasa termasuk kemampuan mengekspresikan dan pemahaman tulisan dan mengucapkan kata-kata. Pasien dapat mengalami aphasia (kehilangan secara total kemampuan pemahaman dan penggunaan berbahasa). Dysphasia diartikanadanya disfungsi sehubungan dengan  kemampuan pemahaman dan penggunaan bahasa. Dysphasia dapat diklasifikasikan berupa Nonfluent ( berkurangnya aktifitas berbicara dengan bicara yang lambat) atau fluent (bisa berbicara, tetapi hanya mengadung sedikit makna komunikasi). Pada stroke yang hebat akan menyebabkan  terjadinya global aphasia, dimana  semua fungsi komunikasi dan penerimaan menjadi hilang.
Stroke pada area Wernicke pada otak akan menunjukkan gejala aphasia receptive dimana tidak terdengar suara atau sukar dimengerti. Kerusakan area wernicke akan menyebabkan hambatan pemahaman baik dalam berbicara maupun bahasa tulisan. Stroke yang berhubungan dengan area Broca pada otak akan menyebabkan expressive phasia (kesulitan dalam berbicara dan menulis). Banyak juga stroke menyebabkan dyssarthria yaitu gangguan/hambatan pada otot bicara. Pasien mengalami hambatan dalam mengucapan, artikulasi, dan bunyi suara. Kadang-kadang ada pasien mengalami keduanya yaitu aphasia dan dysarthria.
  
3.    Emosi/perasaan :
Pasien yang mengalami stroke mungkin tidak dapat mengontrol perasaannya.  Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya perubahan dalam citra tubuh dan kehilangan fungsi motorik. Pasien akan mengalami depresi dan frustrasi sehubungan dengan  masalah mobilitas dan  dan komunikasi. Misalnya pada saat waktu makan pasien menangis karena mengalami kesulitan memasukkan makanan kedalam mulutnya, kehilangan kemampuan mengunyah dan menelan.

4.    Gangguan fungsi intelektual :
Daya ingat dan kemampuan pengambilan keputusan dapat mengalami gangguan sebagai akibat stroke. Stroke pada otak kiri  menyebabkan masalah gangguan ingatan sehubungan dengan berbahasa. Pasien dengan stroke pada otak kanan sangat sulit dalam daya ingat dan kemampuan pengambilan keputusan., milsanya pada saat pasien berdiri dari kursi roda tanpa mengunci kursi rodanya sehingga dapat berbahaya bagi dirinya.
H.    Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat dilakukan adalah :
1. Laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas darah, gula darah dsb.
2. Sinar X tengkorak untuk menggambarkan perubahan kelenjar korpengpineal daerah yang berlawanan dari masa yang luas.
3. Ultrasonografi doppler untuk mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotisaliran darah dan atau muncul plak) atau arteriosklerotik.
4. EEG untuk mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan darah lesi yang spesifik.
5. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan atau infark.
6. MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak
7. Angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas mengenai pembuluh darah yang terganggu secara spesifik.
I.    Pencegahan
Pencegahan utama untuk menghindari risiko adalah pendidikan kesehatan masyarakat. Mempertahankan berat badan dan kolesterol dalam batas normal, dan menghindari merokok atau tidak menggunakan oral kontrasepsi. Pengobatan/mengontrol diabetes, hipertensi dan penyakit jantung. Memberikan informasi kepada klien sehubungan dengan penyakit yang diderita dengan stroke.
Apabila sudah terserang stroke, dalam situasi ini tujuan adalah mensegah terjadinya komplikasi sehubungan dengan stroke dan infark yang lebih luas pada masa yang akan datang. Apabila terjadi immobilitas akan meningkatkan risiko injury sehubungan dengan paralisis dan aspirasi pada jalan nafas. Pencegahan lebih lanjut yaitu memonitoring faktor risiko yang dapat diidentifikasi.
J.     Penatalaksanaan Medis
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
1.    Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
2.    Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
3.    Tanda-tanda vital diusahakan stabil
4.    Bed rest
5.    Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
6.    Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
7.    Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
8.    Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
9.    Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK
10.    Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
11.    Penatalaksanaan spesifik berupa:
• Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik
• Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi.

TERAPI KHUSUS
Ditujukan untuk stroke pada therapeutic window dengan obat anti agregasi dan neuroprotektan. Obat anti agregasi: golongan pentoxifilin, tielopidin, low heparin, tPA.
1. Pentoxifilin
Mempunyai 3 cara kerja:
a. Sebagai anti agregasi → menghancurkan thrombus
b. Meningkatkan deformalitas eritrosit
c. Memperbaiki sirkulasi intraselebral
2. Neuroprotektan
a. Piracetam: menstabilkan membrane sel neuron, ex: neotropi
Cara kerja dengan menaikkan cAMP ATP dan meningkatkan sintesis glikogen
b. Nimodipin: gol. Ca blocker yang merintangi masuknya Ca2+ ke dalam sel, ex.nimotup
Cara kerja dengan merintangi masuknya Ca2+ ke dalam sel dan memperbaiki perfusi jaringan otak
c. Citicholin: mencegah kerusakan sel otak, ex. Nicholin
Cara kerja dengan menurunkan free faty acid, menurunkan generasi radikal bebas dan biosintesa lesitin
d. Ekstrax gingkobiloba, ex ginkan

Pengobatan konservatif  
Pada percobaan vasodilator mampu meningkatkan aliran darah otak (ADO), tetapi belum terbukti demikian pada tubuh manusia. Dilator yang efektif untuk pembuluh di tempat lain ternyata sedikit sekali efeknya bahkan tidak ada efek sama sekali pada pembuluh darah serebral, terutama bila diberikan secara oral (asam nikotinat, tolazolin, papaverin dan sebagainya), berdasarkan uji klinis ternyata pengobatan berikut ini masih berguna : histamin, aminofilin, asetazolamid, papaverin intraarteri.  
Pembedahan
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memeperbaiki peredaran darah otak. Penderita yang menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa penyulit seperti hipertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskular yang luas. Tindakan ini dilakukan dengan anestesi umum sehingga saluran pernafasan dan kontrol ventilasi yang baik dapat dipertahankan.  
K. Komplikasi  
Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998):
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)  
1. Edema serebri: defisit neurologis cenderung memperberat, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya
menimbulkan kematian.  
2. Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.      

b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1. Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
2. Infark miokard
3. Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali pada
saat penderita mulai mobilisasi.
4. Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.

c. Komplikasi Jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, ga ngguan vaskular lain: penyakit vaskular
perifer.
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke
yaitu:
1. Hipoksia serebral
Diminimalakan dengan memberikan oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak tergantung pada ketersediaan O2 yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian O2 suplemen dan mempertahankan hemoglobin dan hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan hemoglobin dan hematrokit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan adekuat.  
2. Aliran darah serebral  
Bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan intregitas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat ( cairan intravena) harus menjamin penurunan vikosis darah dan memperbaiki aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.  
3. Embolisme serebral  
Dapat terjadi setelah infark miokard / fibrilasi atrium / dapat berasal dari katup jantung protestik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibtakan curah jantung tidak konsisten dan penghentian trombul lokal. Selain itu disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN STROKE

A. PENGKAJIAN
a. Wawancara
Menurut Doengoes (1999:613-614) data dasar pengkajian pasien pada penderita sroke adalah,
1. Aktifitas atau Istirahat
•    Gejala : Kelelahan ektremitas, kelemahan, malaise, gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
•    Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonusus, penurunan rentang gerak
2. Sirkulasi
•    Gejala : Riwayat hipertensi lama/berat, palpitasi, nyeri dada (angina)
•    Tanda : Hipertensi otostatik menunjukkan hipovolemia yang jarang pada penyakit tahap akhir
3. Integritas ego
•    Gejala : Karakter stress. Contoh : financial, hubungan dsb, perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, tidak ada kekuatan
•    Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadian
4. Eliminasi
•    Gejala : Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria, abdomen kembung, diare/konstipasi
•    Tanda : Perubahan warna kulit, contoh : kuning pekat, coklat, oliguria dapat menjadi anuria
5.    Makanan atau Cairan
•    Gejala : Peningkatan BB cepat (edema), penurunan BB (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah
•    Tanda : Distensi abdomen/asistes pembesaran hati (tahap akhir), perubahan turgor kulit/kelembaban, edema umum (tergantung) ulserasi gusi, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga
6.    Neurosensori
•    Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kejang, rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan kelemahan khususnya ekstremitas bawah
•    Tanda : Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, penurunan tingkat kesadaran
7.    Nyeri atau kenyamanan
•    Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki (memburuk pada malam hari)
•    Tanda : Gelisah
8.    Pernafasan
•    Gejala : Nafas pendek, dispneu nocturnal proksimal, batuk dengan/tanpa sputum kental dan banyak
•    Tanda : Takipneu, dispneu, peningkatan frekuensi/kedalaman (pernafasan kusmaul) batuk produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru)
9.    Keamanan
•    Gejala : Kulit gatal, ada/berulangnya infeksi
•    Tanda : Demam, ptekie, keterbatasan gerak sendi
10.    Seksualitas
•    Gejala : Penurunan libido, amenorea, infertilisasi
11.    Interaksi social
•    Gejala : Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga
b. Pengkajian Fisik
Menurut Mensjoer (2000:532), pengkajian fisik yang ditemukan pada pasien GGK adalah,
1. Umum : malaise
2. Kulit : pucat, mudah lecet dan rapuh
3. Kepala dan leher : lidah kering dan berselaput, vector uremik
4. Mata : fundus hipertensif, mata merah
5. Kardiovaskuler : hipertensi, berlebihan cairan, gagal jantung
6. Pernafasan : edema paru, efusi pleura
7. Gastrointestinal : anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum
8. Perkemihan : nokturia, poliuria, haus, proteinuria
9. Reproduksi : penurunan libido, impotensi amenore
10. Saraf : letargi, malaise, tremor, kejang, koma
11. Sendi : gout, klasifikasi ekstra tulang
12. Tulang : hiperparati roidisme, defisiensi vitamin D
13. Hematologi : anemia, defisiensi imun, mudah perdarah

Pengkajian khusus :
1.Perubahan pada tingkat kesadaran atau responivitas yang dibuktikan dengan gerakan, menolak terhadap perubahan posisi dan respon terhadap stimulasi, berorientasi terhadap waktu, tempat dan orang
2. Ada atau tidaknya gerakan volunteer atau involunter ekstremitas, tonus otot, postur tubuh, dan posisi kepala.
3. Kekakuan atau flaksiditas leher.
4. Pembukaan mata, ukuran pupil komparatif, dan reaksi pupil terhadap cahaya dan posisi okular.
5. Warna wajah dan ekstremitas, suhu dan kelembaban kulit.
6. Kualitas dan frekuensi nadi, pernapasan, gas darah arteri sesuai indikasi, suhu tubuh dan tekanan arteri.
7. Kemampuan untuk bicara
8. Volume cairan yang diminum dan volume urin yang dikeluarkan setiap 24 jam.

B. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan vasospasme serebral.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan menelan.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral.
5. Perubahan persepsi sensori b.d penerimaan perubahan sensori transmisi
6. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
7. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
C.INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx1.:
Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah : penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral.
Dibuktikan oleh :
a. Perubahan tingkat kesadaran , kehilangan memori
b. Perubahan respon sensorik / motorik, kegelisahan
c. Defisit sensori , bahasa, intelektual dan emosional
d. Perubahan tanda-tanda vital

Tujuan Pasien / kriteria evaluasi :
a. Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi sensori / motorik
b. Menampakan stabilisasi tanda vital dan tidak ada PTIK
c. Peran pasien menampakan tidak adanya kemunduran / kekambuhan

Intervensi :
a. Monitor dan catat status neurologis secara teratur
R/ melihat penurunan dan peningkatkan saraf
b. Monitor tanda-tanda vital
R/ menentukan keadaan klien
c. Evaluasi pupil 9 ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya 0
R/ melihat reaksi dan fungsi
d. Bantu untuk mengubah pandangan , misalnya pandangan kabur, perubahan lapang pandang / persepsi lapang pandang
R/ mengurangi penurunan penglihatan
e. Bantu meningkatakan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi
R/ mengurangi penurunan fungsi
f. Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral.
R/ agar tidak kaku
g. Pertahankan tirah baring , sediakan lingkungan yang tenang , atur kunjungan sesuai indikasi
R/ Untuk kenyamanan

Kolaborasi :
a. Berikan suplemen oksigen sesuai indikasi
b. Berikan medikasi sesuai indikasi
c. Antifibrolitik, misal aminocaproic acid ( amicar )
d. Antihipertensi
e. Vasodilator perifer, missal cyclandelate, isoxsuprine.
f. Manitol

Dx : 2
Gangguan pemenuhan nutrisi b.d reflek menelan turun, hilang rasa ujung lidah
Ditandai dengan:
a. Keluhan masukan makan tidak adekuat
b. Kehilangan sensasi pengecapan
c. Rongga mulut terinflamasi

Kriteria evaluasi :
a. Pasien dapat berpartisipasi dalam intervensi spesifik untuk merangsang nafsu makan
b. BB stabil
c. Pasien mengungkapkan pemasukan adekuat

Intervensi :
a. Pantau masukan makanan setiap hari
R/ untuk menentukan intake dan output
b. Ukur BB setiap hari sesuai indikasi
R/ melihat penuruna BB
c. Dorong pasien untuk makan diit tinggi kalori kaya nutrien sesuai program
R/ menjaga keseimbangan BB
d. Kontrol faktor lingkungan (bau, bising), hindari makanan terlalu manis,berlemak dan pedas. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
R/ untuk kenyamanan
e. Identifikasi pasien yang mengalami mual muntah
R/ melihat output

Kolaborasi:
a. Pemberian anti emetic dengan jadwal regular
b. Vitamin A,D,E dan B6
c. Rujuk ahli diit
d. Pasang /pertahankan slang NGT untuk pemberian makanan enteral

Dx 3 :
Kerusakan  mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskular, ketidakmampuan dalam persespi kognitif
Dibuktikan oleh :
Ketidakmampuan dalam bergerak pada lingkungan fisik : kelemahan, koordinasi, keterbatasan rentang gerak sendi, penurunan kekuatan otot.
Tujuan Pasien / kriteria evaluasi ; Tidak ada kontraktur, foot drop.
a. Adanya peningkatan kemampuan fungsi perasaan atau kompensasi dari bagian tubuh
b. Menampakan kemampuan perilaku / teknik aktivitas sebagaimana permulaannya
c. Terpeliharanya integritas kulit

Intervensi :
a. Ubah posisi tiap dua jam ( prone, supine, miring )
R/ mencegah terjadinya dekubitus
b. Mulai latihan aktif / pasif rentang gerak sendi pada semua ekstremitas
R/ agar tidak terjadinya kekakuan
c. Topang ekstremitas pada posis fungsional , gunakan foot board pada saat selama periode paralysis flaksid. Pertahankan kepala dalam keadaan netral
R/ kenyamanan klien
d. Evaluasi penggunaan alat bantu pengatur posisi
R/ untuk kenyamanan
e. Bantu meningkatkan keseimbangan duduk
R/ untuk kenyamanan

Kolaborasi
a. Konsul ke bagian fisioterapi
b. Bantu dalam meberikan stimulasi elektrik
c. Gunakan bed air atau bed khusus sesuai indikasi

Dx 4 :
Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan sirkulasi serebral, gangguan neuromuskuler, kehilangan tonus otot fasial / mulut, kelemahan umum / letih.
Ditandai :
a. Gangguan artikulasi
b. Tidak mampu berbicara / disartria
c. ketidakmampuan moduasi wicara , mengenal kata , mengidentifikasi objek
d. Ketidakmampuan berbicara atau menulis secara komprehensif.

Tujuan pasien / kriteria evaluasi
a. Pasien mampu memahami problem komunikasi
b. Menentukan metode komunikasi untuk berekspresi
c. Menggunakan sumber bantuan dengan tepat

Intervensi :
a. Bantu menentukan derajat disfungsi
R/ agar tidak terjadinya disfungsi
b. Sediakan bel khusus jika diperlukan
R/ mencegah kegawatdaruratan
c. Sediakan metode komunikasi alternative
R/ kenyamanan
d. Antisipasi dan sediakan kebutuhan pasien
R/ untuk kenyamanan
e. Bicara langsung kepada pasien dengan perlahan dan jelas
R/ terciptanya saling kepercayaan
f. Bicara dengan nada normal
R/ mencegah terjadinya prasanka buruk dan mengurangi keadaan
Kolaborasi : Konsul dengan ahli terapi wicara

Dx 5 :
Perubahan persepsi sensori b.d penerimaan perubahan sensori transmisi, perpaduan ( trauma / penurunan neurologi), tekanan psikologis ( penyempitan lapangan persepsi disebabkan oleh kecemasan)
Ditandai ;
a. Disorientasi waktu, tempat , orang
b. Perubahan pola tingkah aku
c. Konsentrasi jelek, perubahan proses piker
d. Ketidakmampuan untuk mengatakan letak organ tubuh
e. Perubahan pola komunikasi
f. Ketidakmampuan mengkoordinasi kemampuan motorik.

Tujuan / kriteria hasil :
a. Dapat mempertahakan level kesadaran dan fungsi persepsi pada level biasanya.
b. Perubahan pengetahuan dan mampu terlibat
c. Mendemonstrasikan perilaku untuk kompensasi

Intervensi :
a. Kaji patologi kondisi individual
R/ mencegah penurunan kesadaran
b. Evaluasi penurunan visual
R/ mencegah penurunan kesadaran
c. Lakukan pendekatan dari sisi yang utuh
R/ agar pasien tidak tersinggung
d. Sederhanakan lingkungan
R/ untuk kenyamanan dan memepercepat kesembuhan
e. Bantu pemahaman sensori
R/ mengurangi ketidak reaksi saraf
f. Beri stimulasi terhadap sisa-sisa rasa sentuhan
R/ mengurangi kematian sel-sel saraf
g. Lindungi psien dari temperatur yang ekstrim
R/ menjaga kenyamanan
h. Pertahankan kontak mata saat berhubungan
R/ meningkatkan kepercayaan
i. Validasi persepsi pasien
R/ menentukan keluhan

Dx 6 :
Kurang perawatan diri b.d kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol /koordinasi otot
Ditandai dengan :
Kerusakan kemampuan melakukan AKS misalnya ketidakmampuan makan ,mandi, memasang/melepas baju, kesulitan tugas toileting
Kriteria hasil:
a. Melakukan aktivitas perwatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri
b. Mengidentifikasi sumber pribadi /komunitas dalam memberikan bantuan sesuai kebutuhan
c. Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk memenuhi kenutuhan perawatan diri

Intervensi:
a) Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri
R/: Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual
b) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan dengan sikap sungguh
R/: Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus-menerus
c) Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan
R/:Klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri-sendiri untuk emepertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan
d) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya
R/: Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu
e) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi
R/: Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus

Dx.7:
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama

1) Tujuan
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
2) Kriteria hasil
- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
- Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
- Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka

3) Rencana tindakan

a) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin
R/: Meningkatkan aliran darah kesemua daerah
b) Rubah posisi tiap 2 jam
R/: Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
c) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol
R/:Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol
d) Lakukan massage pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi
R/: Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler
e) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi
Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan
f) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit
R/: Mempertahankan keutuhan kulit















DAFTAR PUSTAKA
http://imam-14naruto.blogspot.com/2011/05/askep-lansia-dengan-stroke.html
http://mhs.blog.ui.ac.id/fer50/2008/09/17/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan-stroke/
Guyton & Hall. Buku ajar fisiologi kedokteran ed 11. Jakarta: EGC. 2007

Price, Sylvia Anderson; Patofisiologi ed.6, vol.1; Jakarta: EGC.2005

Doengoes, Marilynn E; Rencana Asuhan Keperawatan ed.3:Jakarta:EGC; 1999

askep Inkontinensia urine

 KONSEP MEDIS
A.    Definisi
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.

Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.

Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua
. Klasifikasi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin diklasifikasikan
1.    Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut
.Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
2.    Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.

c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

d. Inkontinensia urin fungsional
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.

Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.

b. etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Nah, obat-obatan ini bisa sebagai ‘biang keladi’ mengompol pada orang-orang tua. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
c. manifestasi klinik
a. melaporkan merasa desakan berkemih, di sertai ketidakmampuan
mencapai kamar mandi karena telah berkemih
b. desakan, frekuensi ,dan nokturia.
c. inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urin
ketika tertawa, bersin, melompat, batuk atau membungkuk.
d. inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urin buruk atau
melambat dan merasa menunda atau mengedan.
e. inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urin yang
adekuat
f. higiene buruk atau tanda- tanda infeksi
g. kandung kemih terletak di atas simpisis pubis
d.  patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
• Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Bisa juga disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah saluran kencing.
• Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
• Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan.
Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow Ada beberapa pembagian inkontinensia urin, tetapi pada umumnya dikelompokkan menjadi 4:
1. Urinary stress incontinence
2. Urge incontinence
3. Total incontinence
4. Overflow incontinence
*Stress urinary incontinence terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut. Dalam hal ini, tekanan di dalam kandung kencing menjadi lebih besar daripada tekanan pada urethra. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi(misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara operasi (cara yang lebih sering dipakai).
*Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing yang mendadak, kencing berulang kali, kencing malam hari, dan inkontinensia. Pengobatannya dilakukan dengan pemberian obat-obatan dan beberapa latihan.
*Total incontinence, di mana kencing mengalir ke luar sepanjang waktu dan pada segala posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran abnormal yang menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke organ lain atau ke luar tubuh), misalnya fistula vesikovaginalis (terbentuk saluran antara kandung kencing dengan vagina) dan/atau fistula urethrovaginalis (saluran antara urethra dengan vagina). Bila ini dijumpai,dapat ditangani dengan tindakan operasi.
*Overflow incontinence adalah urin yang mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kencing akibat otot detrusor yang lemah.Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber penyebabnya.
e. Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin
1.Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.

Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
1.    Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
2.    Tes urodinamik à untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
3.    Tes tekanan urethra à mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
Imaging à tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

f. Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
Laboratorium  :
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.


G . Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.

2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam
.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpanPampers Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

Kateter : Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih
Alat bantu toilet : Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.












KONSEP KEPERAWATAN
A.    PENGKAJIAN
1.    Identitas klien
inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

2.    Riwayat kesehatan
•    Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
•    Riwayat kesehatan klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
•    Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.


3.    Pemeriksaan fisik
•    Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia.
Pemeriksaan Sistem :
•    B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
•    B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
•    B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
•    B4(bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
•    B5(bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
•    B6(bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
4.    Data penunjang
•    Urinalisis
•    Hematuria.
•    Poliuria
•    Bakteriuria.
  
5.    Pemeriksaan Radiografi
•    IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
•    VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
•    Kultur Urine
-    Steril.
-    Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
-    Organisme.

B.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.    Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih
2.    Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3.    Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
4.    Resiko infeksi berhubungan dengan  pemasangan kateter dalam waktu yang lama.
5.    Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
C. INTERVENSI
No     Diagnosa     Tujuan    Intervensi     Rasional
1    Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih    Klien mampu mengontrol Eliminasi urin.
    1. identifikasi pola berkemih



2. ajarkan untuk membatasi 
   masukan cairan pada malam hari


3. ajarkan tekhnik untuk 
  mencetuskan refleks berkemih ( 
  rangsangan kutaneus dengan
  penepukan supra pubik)
4. bila masih terjadi inkontinensia,
   kurangi waktu antara berkemih
  yang telah di rencanakan.




5. berikan penjelasan tentang
   pentingnya hidrasi optimal
   sedikitnya 2000cc/hari bila tidak
   ada kontra indikasi.    1.    Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih
2.    Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enuresis
3.    Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih

4.    Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urin sehingga di perlukan untuk lebih sering berkemih

5.    Hidrasi optimal di perlukan untuk mencegah isk dan batu ginjal
2.    Ansietas b/d perubahan status kesehatan    Klien dapat mengatasi rasa cemasnya    1. kaji tingkat rasa takut pada
    pasien dan orang terdekat.

2. akui kenormalan perasaan pada
   situasi ini


3. dorong dan berikan kesempatan
   untuk pasien mengajukan 
    pertanyaan dan masalah



4. dorong orang terdekat berpartisipasi dalam asuhan sesuai indikasi, akui masalah pasien.
5. tunjukan indikator positif pengobatan.
6. beri informasi tentang masalah
    kesehatannya     1.    Membantu menentukan jenis intervensi yang di perlukan
2.    Mengetahui perasaan normal dapat menghilangkan rasa takut
3.    Memberi perasaan terbuka dan bekerja sama dan memberikan informasi yang akan membantu dalam mengatasi masalah.
4.    Keterlibatan meningkatkan perasaan berbagi.
5.    Meningkatkan perasaan berhasil atau maju
6.    Dapat mengurangi ansietas yang berlebihan

3.    Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
    Klien dapat meningkatkan harga diri dan mengurangi persepsi negativ terhadap dirinya    1.kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi pengobatan, dan ansietassehubungan dengan situasi.
2.diskusikan arti perubahan pada pasien






3.tentukan peran pasien dalam dalam keluarga dan persepsi pasien akan harapan diri dan orang lain.

4.anjurkan orang terdekat memperlakukan pasien secara normal dan bukan sebagai orang sakit.









    a.    Mengidentifikasi luasnya masalah dan perlunya intervensi
b.    Beberapa pasien Memandang situasi sebagai tantangan, beberapa sulitmenerima perubahan hidup/penampilan peran dan kehilangan kemampuan kontrol tubuh sendiri.
c.    Penyakit lama/permanen dan ketidakmampuan untuk memenuhi peran dalam keluarga.
d.    Menyampaikan harapan bahwa pasien mampu untuk mampu mempertahankan perasaan harga diri dan tujuan hidup.
4.    Resiko infeksi berhubungan dengan  pemasangan kateter dalam waktu yang lama.
    Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.    a.    Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
b.    Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar.

c.    Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.

d.    Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.

e.    Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.misal :
 Tingkatkan masukan sari buah berri.
 Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.    a.    Untuk mencegah kontaminasi uretra.



b.    Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.


c.    Untuk mencegah kontaminasi silang.













d.    Untuk mencegah stasis urine.






e.    Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
5.    Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
     Jumlah bakteri < 100.000 / ml.
 Kulit periostomal tetap utuh.
 Suhu 37° C.
 Urine jernih dengan sedimen minimal.    a.    Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.



b.    Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.    a.    Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
b.    Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.