ASUHAN KEPERAWATAN ABSES PARU
I.
KONSEP MEDIS
Definisi
Abses paru pada hakekatnya adalah suatu penyakit infeksi
di sebagian paru yang sesuai dengan namanya, terdiri dari suatu rongga berisi
pus dengan dinding tipis dikelilingi proses radang setempat. Karena dalam paru
didapatkan banyak percabangan bronkus, biasanya rongga abses berhubungan dengan
satu atau lebih bronkus, sehingga pus bisa keluar melalui bronkus tersebut
untuk kemudian dibatukkan keluar. Sehingga biasanya kadang terisi udara juga.
Abses paru adalah
lesi nekrotikan setempat pada parenkim paru yang mengandung bahan purulen; lesi
mengalami kolaps dan membentuk ruang.
Etiologi
Abses paru dapat terjadi akibat hal – hal sebagai
berikut:
1.
Bakteri an aerob → Bahan
teraspirasi dari hidung atau mulut
2.
Obstruksi bronkus
oleh benda asing, tumor, secret/ mucus
3.
Nekrotisasi
pneumonia, tuberkulosis, embolisme paru, atau trauma dada
Manifestasi Klinik
Presentase klinik abses paru dapat beragam dari batuk
produktif ringan sampai penyakit akut. Sebagian besar pasien mengalami batuk
produktif dengan jumlah sputum sedang sampai banyak dan berbau yang sering
bercampur darah. Dispnea, kelemahan, anoreksia, demam, berkeringat, dan
penurunan berat badan biasa terjadi. Ketika bernapas penderita juga dapat
merasakan nyeri dada, terutama jika telah terjadi peradangan pleura.
Pada kasus yang tipikal gejala timbul 1 sampai 3 hari setelah aspirasi
bahan infeksius dengan malaise, demam, menggigil diikuti dengan batuk dan sering dengan sakit dada. Bila tidak diobati keadaan tambah buruk dengan nyeri pleural, seaak napas dan sianosls. Pada hari
ke 10 biasanya timbul batuk dengan nanah yang banyak berbau busuk dan
campur darah. Pada kasus yang tidak khas gejala seperti pneumonia denqan batuk sputum
purulen dan batuk darah. berulang kali. Abses yang pecah ke dalam kavum pleura menimbulkan
nyeri pleural hebat, sesak napas dengan tanda - tanda empiema atau piopnrumotoraks
Patofisiologi
Garry
tahun 1993 mengemukakan proses terjadinya
abses paru sebagai berikut:
a)
Merupakan proses lanjut
pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri
mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila
berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk
kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen
(septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain
(nesisitatum) misal abses hepar.
b)
Kavitas yang mengalami
infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan kavitas, akibat inhalasi
bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru
atau polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c)
Obstruksi bronkus dapat
menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses paru.
Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial.
Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial.
d)
Pembentukan kavitas
pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak
diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi
nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.
Patologi
Proses
dimulai di bronki/bronkioli, menyebar ke parenkim paru dikelilingi oleh
jaringan granulasi. Perluasan ke pleura sering terjadi. Hubungan dengan bronkus
dapat terjadi sehingga pus atau jaringan nekrotik dapat dikeluarkan. Drainase dan pengobatan yang tidak memadai akan
menyebabkan abses menjadi menahun.
Pemeriksaan Diagnostik
ü Pada pemeriksaan foto paru, akan tampak gambaran
konsolidasi (infiltrat padat) suatu lobus dengan suatu kavitas didalamnya.
Kadang – kadang dapat dijumpai AFL.
ü Pada pemeriksaan darah perifer, akan didapatkan
peningkatan leukosit. Juga akan ada peningkatan LED. Kultur darah jarang
menunjukan kuman penyebab.
ü Sputum → hanya bila ada drainase dari rongga abses ke
suatu percabangan bronkus, sehingga nanah dapat langsung dibatukan keluar,
pemeriksaan Gram dan perbenihan akan dapat menunjukkan etiologi.
Diagnosis
Walaupun pada umumnya keluhan – keluhan abses paru akut
yang dikemukakan penderita dapat menyerupai ISPB (Infeksi Saluran Pernapasan
Bawah) pada umumnya dan peneumoni khususnya, yang lebih menonjol pada abses
paru adalah nyeri dada unilateral yang timbul jauh lebih cepat dan terasa lebih
nyeri daripada pneumoni. Temuan – temuan fisik diagnostik dan gambaran
radiologis akan dapat menunjukkan diagnosis dengan jelas. Pemeriksaan ini akan
menjadi lebih menentukan lagi bila absesnya bersifat kronis.
Penatalaksanaan
1.
Terapi antimikroba
intravena, tergantung pada hasil kultur sputum dan sensitivitas yang diberikan
untuk periode yang lama. Pengobatan pilihan tergantung pada organisme yang di
isolasi. Contoh: klindamisin merupakan obat pilihan, diikuti dengan penisilin
dan metronidazol.
2.
Antibiotik oral
menggantikan terapi intravena, setelah klien menunjukkan tanda – tanda
perbaikan dalam 3 – 4 hari.
3.
Drainase yang
adekuat abses paru sering dicapai melalui drainase postural dan fisioterapi
dada. Penggunaan bronkoskopi untuk mengalirkan abses merupakan hal yang
kontroversial. Tindakan ini akan sangat berguna untuk menyingkirkan benda asing
atau tumor atau untuk mencari letak saat drainase bronkus.
4.
Diet tinggi protein
dan kalori penting karena infeksi kronis berkaitan dengan keadaan katabolik,
yang memerlukan peningkatan masukan kalori dan protein untuk mempercepat
penyembuhan.
5.
Intervensi bedah
jarang dilakukan. Namun reseksi paru (lobektomi) dilakukan jika terjadi
hemoptisis masif, malignansi, atau tidak
memberikan respon terhadap penatalaksanaan medis.
Komplikasi
Kalau abses timbul di perifer paru dan berdekatan dengan
pleura viseralis, kadang – kadang dinding abses bisa pecah serta ikut pula
merobek pleura viseralis, sehingga akan terjadi suatu empiema atau piotoraks. Kalau
bronkus yang bermuara di dinding abses tersebut lalu berhubungan dengan rongga
pleura, akan terjadi piopnemotoraks.
Abses dapat pula menimbulkan erosi dinding pembuluh darah
yang ada didekatnya sehingga dapat robek, sehingga penderita akan mengalami hemoptoe
serta dapat pula menyebabkan komplikasi – komplikasi berupa mini – abses di
organ – organ lain, seperti otak, ginjal, dan sebagainya.
Prognosis
Dengan penanganan yang tepat, pada umumnya abses dapat
disembuhkan dengan baik. Begitu pus sudah terevakuasi semua dan proses radang
dapat disembuhkan, dinding abses akan mengkerut secara progresif sehingga
rongga abses akan menutup kembali dengan meninggalkan jaringan parut.
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan tindakan –
tinadakan yang dapat mengurangi resiko terjadinya abses, antara lain:
1.
Pasien harus
menjalani pencabutan gigi ketika gusi dan gigi mereka terinfeksi, mungkin harus
diberikan terapi antibiotik yang sesuai sebelum prosedur yang menyangkut gigi.
2.
Pasien di
instruksikan untuk mempertahankan hygiene yang adekuat terhadap gigi dan mulut,
karena bakteri an aerobik berperan dalam patogenesis abses paru.
3.
Terapi antimikroba
yang sesuai diresepkan bagi pasien dengan pneumonia.
II.
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
Dasar Data Pengkajian Pasien
1)
Aktivitas/ Istrahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan;
insomnia
Tanda : Penurunan toleransi
terhadap aktivitas; letargi
2)
Sirkulasi
Gejala : Takikardi
Tanda : Warna kulit/ membran
mukosa: cyanosis
3)
Integritas Ego
Gejala : Peningkatan faktor
resiko, perubahan pola hidup
Tanda : Ansietas, gelisah
4)
Makanan/ Cairan
Gejala : Kehilangan nafsu
makan
Tanda : Penurunan berat badan
5)
Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada (pleuritik), meningkat oleh batuk
Tanda : Melindungi area yang
sakit ( pasien umumnya tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi gerakan)
6)
Pernapasan
Gejala : Riwayat adanya
pneumoni, tuberkulosis, emboli paru; Batuk produktif dan tidak produktif;
dispnea
Tanda : Sputum sering
bercampur darah dan berbau; foto paru tampak konsolidasi; perkusi: pekak diatas
area yang konsolidasi; cyanosis bibir/ kuku; bunyi napas: bronkial; mulut atau
tenggorokan berbau busuk; krepitasi.
7)
Keamanan
Gejala : Demam
Tanda : Peningkatan suhu
tubuh, berkeringat, menggigil
8)
Penyuluhan/
Pembelajaran
Gejala : Faktor resiko
keluarga, Riwayat mengalami pembedahan.
Diagnosa Keperawatan
1.
Bersihan jalan
napas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan produksi mukus
2.
Gangguan pertukaran
gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen.
3.
Nyeri berhubungan
dengan proses inflamasi pada parenkim paru dan aktivitas batuk
4.
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
5.
Peningkatan suhu
tubuh (Hyperthemia) berhubungan dengan proses inflamasi
6.
Kekurangan volume
cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan melalui keringat, demam,
napas mulut/ hiperventilasi)
7.
Gangguan pola tidur
berhubungan dengan akumulasi mukus pada jalan napas.
8.
Intoleransi
aktivitas berhungan dengan kelemahan umum.
9.
Resiko tinggi infeksi
saluran pernapasan berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan utama
(penurunan kerja silia, perlengketan sekret pernapasan)
10.
Kurang pengetahuan
berhubungan dengan kesalahan kurang terpajan informasi dan kesalahan interpretasi
Intervensi Keperawatan
1)
Bersihan jalan
napas tidak efektif b/d peningkatan
produksi mukus
Intervensi:
1.
Kaji frekuensi/
kedalaman pernapasan dan gerakan dada
R: Takipnea,
pernapasan dangkal, dan gerakan dada tidak simetris sering terjadi karena
ketidaknyamanan gerakan dinding dada atau cairan paru.
2.
Auskultasi area
paru, catat area penurunan/ tak ada aliran udara dan bunyi napas
adventisius,mis krekels, mengi.
R: Penuruan
aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkial
dapat juga terjadi pada area konsolidasi. Krekels, ronki dan mengi terdengar
pada inspirasi atau ekspirasi pada respon terhadap pengumpulan cairan, sekret
kental, dan spasme jalan napas/obstruksi.
3.
Bantu pasien
melakukan latihan napas sesering mungkin. Tunjukan/ bantu pasien mempelajari
melakukan batuk, mis: menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk
tinggi
R: Napas dalam
memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah
mekanisme pembersihan jalan napas alami, membantu silia untuk mempertahankan
jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk
memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat.
4.
Penghisapan mukus
sesuai indikasi
R: Merangsang
batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tak mampu
melakukan karna batuk tidak efektif.
5.
Berikan cairan
sedikitnya 2500 ml/ hari. Tawarkan air hangat.
R: Cairan (
khususnya yang hangat ) memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
6.
Kolaborasi dengan
dokter dalam program pengobatan. Berikan
sesuai indikasi, mis:bronkodilator.
R: Alat untuk
menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret
2)
Gangguan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen
1.
Kaji frekuensi,
kedalaman, dan kemudahan bernapas
R: Manifestasi
distres pernapasan tergantung pada indikasi derajat keterlibatan paru dan
status kesehatan umum.
2.
Observasi warna
kulit, membran mukosa, dan kuku, catat adanya sianosis.
R: Sianosis
kuku menunjukan vasokontriksi atau respon tubuh terhadap demam/ menggigil.
3.
Kaji status mental
R: Gelisah,
mudah terangsang, bingung dapat menunjukkan hipoksemia (penurunan oksigen
serebral).
4.
Awasi frekuensi
jantung/ irama
R: Takikardi
biasanya ada sebagai akibat demam/ dehidrasi tetapi dapat sebagai respon
terhadap hipoksemia.
5.
Awasi suhu tubuh.
Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam dan menggigil.
R: Demam
tinggi sangat meningkatkan kebutuhan metabolik dan kebutuhan oksigen dan
mengganggu oksigenasi seluler.
6.
Pertahankan
istrahat tidur
R: Mencegah
terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan/ konsumsi oksigen untuk memudahkan
perbaikan infeksi.
7.
Tinggikan kepala
dan dorong sering mengubah posisi, napas dalam, dan batuk efektif.
R: Tindakan
ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret untuk
memperbaiki ventilasi.
8.
Kolaborasi dengan
tim medis dalam pemberian terapi oksigen.
R: Tujuan
terapi oksigen adalah mempertahankan Pa O2 di atas 60 mmHg. Oksigen
diberikan dengan metode yang memberikan pengiriman tepat dalam toleransi
pasien.
3)
Nyeri b/d proses
inflamasi pada parenkim paru dan aktivitas batuk
1.
Tentukan
karateristik nyeri.
R: Nyeri dada
biasanya ada dalam beberapa derajat pada abses paru.
2.
Pantau TTV
R: Perubahan
frekuensi jantung atau TD menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya
bila alasan lain u/ perubahan TTV telah terlihat.
3.
Berikan tindakan
nyaman
R: Tindakan
non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan
dan memperbesar efek terapi analgesik.
4.
Tawarkan
pembersihan mulut dengan sering
R: Pernapasan
mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa,
potensial ketidaknyamanan umum.
5.
Anjurkan dan bantu
pasien dalam tekhnik menekan dada selama episode batuk
R: Alat untuk
mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.
6.
Kolaborasi dengan
tim medis dalam pemberian obat, mis: dalam pemberian obat analgesik dan
antitutif sesuai indikasi.
R: Obat ini dapat
digunakan u/ menekan batuk no produktif/ paroksismal atau menurunkan mukosa
berlebihan, meningkatkan kenyamanan/ istrahat umum.
4)
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh b/d
anoreksia
1.
Identifikasi faktor
yang menimbulkan mual, muntah misal: sputum banyak dan nyeri.
R: Pilihan
intervensi tergantung pada penyebab masalah.
2.
Berikan wadah
tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin. Berikan bantu kebersihan
mulut setelah muntah, setelah tindakan aerosol, dan draenase postural, dan
sebelum makan.
R:
Menghilangkan tanda bahaya, rasa, bau dari lingkungan pasien dan dapat
menurunkan mual.
3.
Jadwalkan
pengobatan pernapasan sedikitnya 1 jam sebelum makan
R: Menurunkan
efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini.
4.
Auskultasi bunyi
usus. Observasi/ palpasi distensi abdomen.
R: Bunyi usus
mungkin menurun/ tidak ada bila proses infeksi berat. Distensi abdomen terjadi
sebagai akibat menelan udara atau menunjukkan pengaruh toksin bakteri pada
saluran GI.
5.
Berikan makanan
porsi kecil dan sering.
R: Tindakan
ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu menurun.
6.
Evaluasi status
nutrisi umum, ukur BB dasar
R: Adanya
kondisi kronik atau keterbatasan keuangan dapat menimbulkan malnutrisi,
rendahnya tahanan terhadap infeksi, dan lambatnya respon terhadap nyeri.
5)
Peningkatan suhu
tubuh (hypertermia) b/d proses inflamasi
1.
Monitor tanda vital:
suhu badan
R: Sebagai
indicator untuk mengetahui status hypertermi
2.
Anjurkan klien
pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat
R: Dalam kondisi demam
terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi
3.
Berikan
kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur
R: Menghambat
pusat simpatis dihipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan
merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan
4.
Anjurkan
klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
R: Kondisi
kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur, juga akan
mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit.
6)
Kekurangan volume
cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan melalui keringat, demam,
napas mulut/ hiperventilasi)
1.
Kaji perubahan TTV
R: Peningkatan
suhu/ memanjangnya demam meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan
melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan
kekurangan cairan sistemik.
2.
Kaji turgor kulit,
kelembaban, membran mukosa (bibir, lidah)
R: Indikator
langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membran mukosa mulut mungkin
kering karena napas mulut dan O2 tambahan.
3.
Catat laporan mual/
muntah
R: Adanya gejala
ini menurunkan masukan oral.
4.
Pantau masukkan dan
haluaran, catat warna, karakter urin. Hitung keseimbangan cairan. Waspadai
kehilangan yang tidak tampak.
R: Memberikan
informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan pengganti.
5.
Tekankan cairan
sedikitnya 2500ml/ hari atau sesuai kondisi individual.
R: Pemenuhan
kebutuhan dasar cairan, menurunkan resiko dehidrasi.
6.
Kolaborasi dalam
pemberian obat sesuai indikasi, mis: anti piretik, anti emetik.
R: Berguna
menurunkan kehilangan cairan.
7.
Kolaborasi dalam
pemberian cairan tambahan intravena sesuai keperluan
R: Pada adanya
penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki/
mencegah kekurangan.
7)
Gangguan pola tidur
berhubungan dengan sesak dan batuk yang bersputum.
1.
Jika ada pengobatan
untuk paru – paru aturlah pemberian obat tersebut agar diberikan sebelum waktu
tidur. Berikan obat antitusif yang
diprogramkan.
R: Selama
tidur, napas dalam periodik, yang mengembangkan alveoli, tidak terjadi
sebagaimana saat bangun dan bergerak. Akibatnya sekresi terakumulasi diparu –
paru. Pengobatan khusus paru dapat membantu mengeluarkan sekresi. Antitusif
menekan pusat kontrol batu diotak.
2.
Pastikan ventilasi
ruangan baik. Atur pengadaan humidifier udara jika diperlukan. Anjurkan
penggunaan O2 selama tidur juka diperlukan.
R: Udara segar
yang selalu bergerak membantu mengontrol debu dan bakteri. Kelembaban antara
30% dan 60% mencegah kekeringan mukosa. Oksigen tambahan memberikan tambahan
suplai oksigen ke jaringan tubuh.
3.
Pertahankan ruangan
bebas dari bahan iritan seperti asap, serbuk bunga, dan pengharum ruangan.
R: Iritan ini
dapat mencetuskan batuk.
4.
Pertahankan suhu
ruangan yang nyaman.
R: Suhu
ruangan yang terlalu panas dan terlalu dingin dapat mencetuskan batuk.
5.
Berikan analgetik
yang diresepkan sebelum tidur.
R: Untuk
mengontrol nyeri dan meningkatkan tidur.
6.
Pada waktu tidur,
ijinkan pasien mandi dengan pancuran air hangat atau mandi biasa, kemudian
berikan backrub. Untuk meningkatkan relaksasi.
R: Dapat
meningkatkan ekspansi paru.
7.
Bantu pasien untuk
mendapatkan posisi yang nyaman (posisi semifowler).
R: Dapat
meningkatkan ekspansi paru.
8.
Kolaborasi dengan
dokter jika tindakan diatas tidak efektif dalam menurukan insomnia.
R: Sedatif
atau tranquilizer mungkin diperlukan, namun obat – obatan tersebut harus
digunakan dengan kewaspadaan, karena dapat menekan kontrol pernapasan dan
menambah hipoksemia.
8)
Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
1.
Evaluasi respon
pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea,peningkatan kelemahan/
kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.
R: Menetapkan
kemampuan/ kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
2.
Berikan lingkungan
tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi. Dorong
penggunaan manajemen stres dan pengalihan yang tepat.
R: Menurunkan
stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istrahat.
3.
Jelaskan pentingnya
istrahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan
istrahat.
R: Tirah
baring dipertahankan selama fase akut u/ menurunkan kebutuhan metabolik,
menghemat energi u/ penyembuhan, pembatasan aktivitas ditentukan dengan respon
individual pasien terhadap aktivitas dan perbaiki kegagalan pernapasan.
4.
Bantu pasien
memilih posisi nyaman u/ istrahat.
R: Pasien
mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi, atau menunduk ke depan
meja atau bantal.
5.
Bantu aktivitas
perawatan diri yang diperlukan.
R: Meminimalkan
kelelahan dan membantu keeimbangan suplai dan kebutuhan O2
9)
Resiko tinggi infeksi
saluran pernapasan berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan utama
(penurunan kerja silia, perlengketan sekret pernapasan)
1.
Pantau TTV,
khususnya selama awal terapi.
R: Selama
periode waktu ini, potensial komplikasi fatal (hipotensi/ shock) dapat terjadi.
2.
Anjurkan pasien
memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna, jumlah, dan
bau sekret.
R: Meskipun
pasien dapat menemukan pengeluaran dan upaya membatasi atau menghindarinya,
penting bahwa sputum harus dikeluarkan dengan aman.
3.
Tunjukan/ dorong
tekhnik mencuci tangan yang baik.
R: Efektif
berarti menurunkan penyebaran/ tambahan infeksi.
4.
Ubah posisi dengan
sering dan berikan pembuangan paru yang baik.
R:
Meningkatkan pengeluaran, pembersihan infeksi.
5.
Batasi pengunjung
sesuai indikasi
R: Menurunkan
pemajanan terhadap patogen infeksi lain.
6.
Lakukan isolasi
pencegahan sesuai idividual.
R: Tergantung
pada tipe infeksi, respon terhadap antibiotik, kesehatan umum pasien, dan
terjadinya komplikasi, tekhnik isolasi mungkin diperlukan u/ mencegah
penyebaran/ melindungi pasien dari proses infeksi lain.
7.
Dorong keseimbangan
istrahat adekuat dengan aktivitas sedang. Tingkatkan masukan nutrisi adekuat.
R: Memudahkan
proses penyembuhan dan meningkatkan tahanan alamiah.
8.
Kolaborasi dalam
pemberian obat anti mikrobial sesuai indikasi.
R:Obat ini
digunakan u/ membunuh kebanyakan mikrobial abses paru.
9.
Kurang pengetahuan
berhubungan dengan kesalahan kurang terpajan informasi dan kesalahan interpretasi.
1.
Kaji fungsi normal
paru, patologi kondisi.
R:
Meningkatkan pemahaman situasi yang ada dan penting menhubungkannya dengan
program pengobatan.
2.
Diskusikan aspek
ketidakmampuan dan penyakit, lamanya penyembuhan, dan harapan kesembuhan.
Identifikasi perawatan diri dan kebutuhan/ sumber pemeliharaan rumah.
R: Informasi
dapat meningkatkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah
berlebihan. Gejala pernapasan mungkin lambat untuk membaik, dan kelemahan dan
kelelahan dapat menetap selama periode yang panjang. Faktor ini dapat
berhubungan dengan depresi dan kebutuhan untuk berbagai bentuk dukungan den
bantuan.
3.
Berikan informasi
dalam bentuk tertulis dan verbal.
R: Kelemahan
dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengasimilasi informasi/
mengikuti program medik.
4.
Tekankan pentingnya
melanjutkan batuk efektif/ latihan pernapasan
R: Dapat
menjaga keefektifan kebersihan jalan napas
5.
Tekankan perlunya
menjalankan terapi antibiotik selama periode yang di anjurkan.
R: Penghentian
dini antibiotik dapat mengakibatkan iritasi mukosa bronkus, dan menghambat
makrofag alveolar, mempengaruhi perlawanan alami tubuh melawan infeksi.
6.
Buat langkah untuk
meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan.
R:
Meningkatkan pertahanan alamiah/ imunitas, membatasi terpajan pada patogen.
7.
Identifikasi tanda
dan gejala yang memerlukan pelaporan pemberi perawatan kesehatan, mis:
peningkatan dyspnea, nyeri dada, kelemahan memanjang, kehilangan BB, demam/
menggigil, dll
R: Upaya
evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat mencegah/ meminimalkan komplikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar